AWAS, NEGARA DALAM CENGKERAMAN PREMAN
Salah satu tujuan berdirinya negara
Indonesia adalah untuk melindungi segenap rakyatnya dan seluruh tumpah
darahnya. Dengan adanya negara serta pemerintah, maka diharapkan rakyat
Indonesia yang berdiam dari Sabang hingga Merauke dapat hidup dengan aman dan
sejahtera. Tetapi apakah keamanan dan perlindungan dari negara itu sudah
benar-benar terwujud?
Dalam kurun waktu tiga bulan ini,
setidaknya ada tiga kasus yang bisa dicermati berkaitan dengan rasa aman yang
seharusnya diterima oleh masyarakat Indonesia. Pertama adalah makin menggilanya
kasus perkosaan di tempat publik,
terutama di angkutan umum. Semakin
membahananya kasus ini dibahas di media massa ternyata justru menyulut tindakan
serupa di berbagai tempat. Mungkin para pemerkosa ini melihat bagaimana
mudahnya melakukan aksi perkosaan dan kemudian menghilang.
Kedua adalah kasus pembakaran markas
polisi di Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan pada Kamis, 7 Maret 2013. Pada
hari itu puluhan anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) mendatangi markas
polisi dengan tujuan menanyakan perkembangan kasus tewasnya rekan mereka.
Merasa tidak puas dengan jawaban yang diberikan, kemudian bertindak brutal dan
membakar markas polisi resort kota Ogan Komering Ulu. Selain membakar gedung,
para anggota TNI ini juga membakar beberapa sepeda motor serta mobil patroli
milik polisi.
Pemicu dari aksi ini sendiri adalah
tewasnya seorang anggota TNI dari
kesatuan Batalyon 76/15 Tarik yang bernama Pratu Heru, oleh timah panas salah seorang anggota polisi. Tersangka kemudian diketahui bernama
Wijaya, seorang anggota Polantas berpangkat brigadir. Sang brigadir polisi ini
memuntahkan beberapa tembakannya dan mengenai leher serta punggung Pratu Heru.
Korban pun tak tertolong lagi setelah sempat dibawa ke rumah sakit.
Belum hilang ingatan masyarakat akan
peristiwa memilukan itu, Sabtu 23 Maret 2013, terjadi penyerangan dan
pembunuhan sadis di lapas (lembaga pemasyarakatan) Cebongan, Sleman,
Yogyakarta. Empat tahanan tewas setelah diberondong oleh kelompok tidak
dikenal.
Keempat tahanan tersebut adalah para
preman anggota kelompok NTT yang masing-masing bernama Hendrik Angel Sahetapy,
Gameliel Yermianto, Adrianus Galaja dan Yohanes Juan. Mereka adalah tersangka
pembunuhan terhadap Serka Heru Santosa, seorang anggota Komando Pasukan Khusus
TNI-AD. Peristiwa itu sendiri terjadi di dalam sebuah tempat hiburan bernama
Hugo’s café, Sleman, Yogyakarta.
Kronologinya, sekitar pukul satu
dini hari, sekelompok orang bercadar dan berbadan tegap masuk menyerbu lapas.
Para petugas lapas yang jumlahnya sangat tidak sebanding, sudah berusaha
melakukan perlawanan namun gagal. Setelah berhasil menerobos masuk, kelompok
bersenjata tidak dikenal itu langsung memerintahkan petugas lapas menunjukkan para tahanan
tersangka pembunuhan Serka Heru Santosa, yang tewas ditikam beberapa hari
sebelumnya.
Begitu sampai di sel para tersangka, beberapa orang dari kelompok
bersenjata ini langsung memuntahkan puluhan timah panas dan menghabisi
keempatnya sekaligus. Eksekusi sadis itu terjadi di depan mata para tahanan
lain yang ada di sel tersebut. Begitu selesai menuntaskan misinya, kelompok ini
langsung pergi meninggalkan tempat kejadian.
Polisi
yang tak lagi berwibawa
Salah satu hal yang bisa ditarik
dari ketiga kasus itu adalah wibawa polisi yang semakin hancur dari hari ke
hari. Dari kasus pertama, di mana peristiwa pemerkosaan dan pelecehan seksual
di tempat umum yang semakin menjadi-jadi menggambarkan para pelaku sudah semakin berani dan nekat.
Sedang pada kasus kedua, di mana
para anggota TNI yang tidak puas atas perkembangan kasus kematian rekan mereka,
menggambarkan krisis kepercayaan atas kinerja kepolisian sudah sedemikian
parah. Polisi sebagai penegak hukum sudah tidak dipercaya lagi, apalagi kasus
tersebut juga melibatkan seorang oknum polisi.
Lalu pada kasus ketiga, adalah wujud
paling nyata bagaimana ‘taji’ polisi benar-benar pantas dipertanyakan.
Bagaimana tidak? sekelompok orang bersenjata
bisa memberondongkan peluru hingga mengakibatkan empat orang tewas di
lapas. Jika di lapas saja, kejadian premanisme (atau terorisme) bisa terjadi,
lantas bagaimana polisi bisa mengatakan dirinya sebagai pelindung masyarakat?
Tidak adakah polisi bersih?
Hancur leburnya wibawa polisi di
mata rakyat tidak bisa dipisahkan dari tindak-tanduk beberapa oknum dari
kepolisian yang mencoreng nama institusi tersebut. Sebut saja Joko ‘the
bad boy’ Susilo, mantan petinggi kepolisian yang sekarang menjadi
pesakitan itu adalah contoh nyata dari sekian banyak petinggi kepolisian yang
terbongkar perilaku culasnya.
Selain memiliki banyak aset yang diduga hasil dari tindak
korupsi selama dirinya berkuasa, pria yang diketahui mempunyai beberapa istri
simpanan ini juga menjadi tersangka dalam kasus pencucian uang yang disinyalir
melibatkan banyak bawahannya. Sungguh memilukan, di saat masih banyak rakyat
hidup di bawah garis kemiskinan, seorang pejabat kepolisian tega memperkaya
dirinya sendiri dengan jalan merampok uang negara.
Selain itu masih ada Susno Duaji,
sosok kontroversial yang sempat menjadi musuh nomor satu KPK dan para aktivis
pemberantas korupsi. Mantan Kabareskrim Polri ini bahkan sempat dituding
sebagai pelindung para koruptor yang ingin dijerat oleh KPK.
Di lapangan, tak sedikit pula
anggota polisi yang justru terlibat dalam berbagai tindak kejahatan. Di
Semarang, Sugiyarno, seorang anggota polisi berpangkat Aiptu memimpin
gerombolannya untuk melakukan aksi perampokan. Sedikitnya sudah ada tiga toko
yang menjadi korban perampokan kawanan Aiptu Sugiyarno ini. Sekali menjalankan
aksinya, gerombolan perampok pimpinan
anggota polisi ini berhasil meraup puluhan juta rupiah.
Pada 9 Januari lalu, dua anggota
polisi juga ditangkap karena diduga kuat terlibat perampokan bersenjata di
kawasan Jalan Panglima Sudirman, Jombang. Mereka berdua adalah Aiptu Suryadi
dan Briptu Cahyo Dwi Pamungkas. Dalam peristiwa tersebut, kedua anggota polisi
beserta kawanannya itu berhasil merampas uang senilai 210 juta rupiah dari
tangan korban.
Bahkan yang terbaru, salah satu dari
empat tersangka penusukan terhadap anggota Kopassus di Hugo’s Café beberapa
waktu lalu ternyata adalah mantan anggota polisi. Tersangka yang bernama Juan
itu pernah menjadi anggota polisi sebelum dipecat karena ketahuan berbisnis
narkoba. Sungguh miris, seorang anggota polisi justru terlibat kasus narkotika.
Jika di film Hollywood dikenal
dengan istilah bad cop (polisi jahat) melawan good cop (polisi baik),
maka di Indonesia belum muncul sosok seorang good cop yang dirindukan oleh masyarakat. Justru yang ada, makin
hari kejahatan makin menggila.
Polisi makin dijauhi, preman tawarkan kerja sama
Keamanan dan kenyamanan adalah salah
satu kebutuhan pokok bagi masyarakat. Terutama bagi kalangan usahawan dan
pebisnis, faktor keamanan bahkan menjadi pertimbangan utama. Uniknya ketika
pamor polisi semakin meredup, mereka justru menggunakan jasa pengamanan swasta.
Tidak hanya menggunakan jasa satuan
tugas pengamanan (satpam/security)
yang bisa didapatkan dari perusahaan jasa pengamanan, para usahawan ini juga
sering melakukan kerja sama dengan kelompok preman lokal. Beberapa contoh usaha
yang biasa menggunakan jasa pengamanan dari para preman adalah usaha di bidang
tempat hiburan, seperti kafe, karaoke, motel, tempat bilyard dan klub malam. Pemakaian jasa pengamanan dari kelompok
preman sendiri sebenarnya sudah cukup lama dan merupakan hal yang lazim di kalangan
para pengusaha hiburan ini.
![]() |
Negara Dan Premanisme |
Menurut data dari Koran Sindo, ada beberapa alasan
mengapa sebagian masyarakat justru memakai jasa pengamanan dari preman. Salah
satunya karena preman ini lebih mudah untuk dikoordinasikan. Biasanya mereka
hanya memiliki struktur kepemimpinan sederhana, di mana sang gembong preman
menjadi pemimpin mutlak. Hal ini berbeda dengan polisi yang dirasa terlalu
prosedural dan dianggap lamban.
Selain itu, preman ini juga lebih
punya nyali jika berhadapan dengan preman lain yang ingin berbuat onar di
tempat usaha mereka. Para preman ini, yang kebanyakan memang berasal dari
kawasan lokal, lebih memiliki perasaan sebagai seorang tuan rumah, sehingga ini
cukup membuat para preman dari kawasan lain kendor nyali jika ingin berbuat ulah.
Sedang alasan lainnya, penggunaaan
jasa pengamanan dari para preman ini cenderung lebih murah. Bahkan menurut Neta
S. Pane, koordinator Indonesian Police Watch (IPW),
pengusaha enggan menggunakan jasa polisi karena takut hanya akan dianggap
sebagai ‘mesin ATM’ oleh pihak kepolisian. Hal inilah yang kemudian memicu
fenomena untuk menggunakan jasa preman.
Di kawasan Yogyakarta sendiri, jasa
preman sudah tidak asing lagi. Bahkan dulu banyak wilayah di Yogyakarta
memiliki para ‘penguasa lokalnya’ masing-masing. Tetapi kemudian para preman
lokal ini banyak yang bertobat. Tobatnya para preman ini ternyata dimanfaatkan
oleh kelompok lain untuk mengambil wilayah yang tak bertuan ini. Kasus yang
paling teranyar adalah para preman yang dikenal dengan nama kelompok NTT.
Sepak terjang kelompok NTT ini
sebenarnya terbilang baru. Tetapi karena mereka memiliki keberanian yang tinggi
serta mampu tampil sangar, akhirnya semakin lama, wilayah usaha mereka semakin
luas. Hal ini ditambah dengan masuknya Juan, seorang mantan anggota polisi ke
dalam kelompok ini.
Tetapi kelompok ini mendapat batunya
ketika empat anggotanya tewas ditembak oleh sekelompok orang tidak dikenal di
lapas Cebongan. Kelompok preman ini ternyata juga membuat susah beberapa warga
Yogyakarta yang kebetulan berasal dari daerah yang sama dengan daerah asal para
preman tersebut. Bahkan Sri Sultan selaku Gubernur Yogyakarta turun tangan
dengan menjamin keselamatan para warga yang berasal dari NTT.
Selain jasa tempat hiburan, beberapa
usaha lain yang juga menggunakan jasa para preman adalah usaha penagihan utang,
ruko dan pembangunan perumahan. Para preman ini bahkan sering diangkat sebagai
karyawan atau pegawai kontrakan.
Ironi Hercules dan premanisme ibukota
Selain menggunakan jasa pengamanan
dari kelompok preman, para pengusaha juga ada yang menggunakan jasa pengamanan
dari sekelompok organisasi masyarakat. Bahkan ada di antaranya yang ternyata
adalah organisasi sayap dari sebuah partai politik.
Organisasi masyarakat (ormas) ini
dianggap lebih bertaji karena memiliki masa dan senjata yang lebih mumpuni. Di
beberapa daerah, ormas preman ini sering terlibat perkelahian dengan ormas
preman lainnya. Secara umum pemicunya
adalah rebutan lahan parkir atau karena ingin menguji kekuatan
masing-masing.
Pada 8 Maret lalu, rakyat Indonesia
juga dikejutkan dengan penangkapan Herkules beserta anak buahnya. Dari kelompok
ini, polisi berhasil mengamankan berbagai senjata, termasuk di antaranya
senjata api dan peluru aktif. Herkules sendiri dikenal sebagai salah seorang
tokoh yang sudah sering terlibat dalam berbagai tindak kekerasan sekaligus
ketua dari ormas Gerakan Rakyat Indonesia Baru.
Kronologi penangkapan (versi polisi)
sendiri berawal dari ulah Herkules dan kelompoknya yang berniat membubarkan
apel polisi di kawasan Kebon Jeruk. Dengan bersenjatakan parang dan pentungan,
kelompok Herkules juga merusak beberapa toko yang ada di kawasan itu. Tetapi
ternyata polisi dengan kekuatan yang jauh lebih besar justru mampu meringkus
Herkules beserta anak buahnya yang berjumlah sekitar 50 orang.. Bahkan rumah
Herkules pun kemudian langsung ‘diobrak-abrik’ oleh polisi. Di sana polisi
menemukan berbagai senjata tajam dan sebuah pistol.
Herkules adalah mantan pejuang pro Indonesia dalam
peristiwa kerusuhan di Timor Timur. Seperti diketahui, sebelum melepaskan diri
dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dan menjadi negara berdaulat,
Timor Leste adalah provinsi ke-27 dari Republik Indonesia. Namun pada tahun 1998,
bekas jajahan Portugal itu memilih merdeka.
Pada waktu itu, ada dua orang tokoh
Timor Timur yang cukup dikenal sebagai
pemimpin pejuang pro Indonesia, yakni
Enricco Guterez dan Herkules. Dua orang itu menyabung nyawa membela
kehormatan merah putih. Bahkan tak jarang mereka terlibat pertempuran dengan
para simpatisan pro kemerdekaan yang didukung oleh tentara PBB dan Pasukan
Australia. Tetapi walau sudah berjuang hingga tetes terakhir, Timor Timur pada
akhirnya tetap berpisah dari Indonesia.
Nasib kedua orang itu langsung
berubah. Errico Guterez harus mendekam dipenjara karena tuduhan kriminalitas
dan kejahatan selama perang. Sedang Herkules, yang harus kehilangan tangan
kanannya demi memperjuangkan harga diri
ibu pertiwi akhirnya menjadi gembel di
Tanah Abang, kawasan yang dikenal sebagai sarang premanisme di Jakarta.
Nasib pun membawa Herkules menjadi
sosok pemimpin geng yang disegani. Keberanian mantan pejuang Indonesia
kelahiran Timor Leste ini memang sangat luar biasa. Ditengarai banyak pengusaha
yang menggunakan jasanya untuk mengamankan lahan sengketa ataupun menagih
utang.
Negara dalam cengkeraman bromocorah
Selain Herkules, masih banyak tokoh
lainnya yang diidentikkan dengan premanisme. Beberapa di antaranya adalah John
Kei, Basri Sangaji dan Ola Panggabean. Di luar itu, masih banyak kelompok
preman yang membuat keadaan di negeri ini makin tidak aman saja. Semakin hari
tingkat kriminalitas bukannya semakin menurun. Masyarakat pun semakin cemas dan
was-was, bahkan ada wacana untuk mencetuskan kembali program penumpasan preman
yang dikenal sebagai Petrus.
Petrus adalah akronim dari penembak
misterius. Peristiwa yang dikenal dengan nama Peristiwa penembakan misterius
tersebut sempat menghebohkan negeri ini pada kurun waktu 1983-1985. Ditengarai
itu adalah sebuah operasi pembasmian premanisme pada jaman Soeharto berkuasa.
Pada waktu itu, kondisi negara
memang benar-benar gawat. Kriminalitas sangat tinggi hingga benar-benar
meresahkan masyarakat. Bahkan muncul istilah bahwa rakyat lebih takut pada
preman daripada polisi. Maka para pejabat militer pun langsung mencanangkan
sebuah operasi dengan sandi operasi celurit.
Modus operandinya, para preman,
terutama mereka yang dikenal sebagai gembong preman dan gali (gabungan anak
liar) didata. Tak berselang lama, mayat mereka
ditemukan di emperan toko, pinggir kali, seberang jalan besar atau
bahkan di depan rumah kedua orang tuanya. Banyak dari mereka yang menemui ajal
karena ditembak atau dalam beberapa kasus ditusuk. Mayat mereka pun sering ditemukan
oleh warga dalam keadaan tangan terikat dan dimasukkan ke dalam karung goni.
Walau mendapat cacian dari seluruh
dunia, tapi sang penguasa pada waktu itu,
Jenderal Soeharto, tetap bergeming. Bahkan dalam autobiografinya,
Soeharto secara terang-terangan memuji tindakan ini. Memang banyak nyawa
melayang, tetapi paska tindakan itu, kondisi keamanan negara langsung
terkendali, rakyat bebas dari ketakutan dan pembangunan berlangsung. Jumlah
korban pun simpang siur. Ada yang menyebutkan jumlah total korban di sekitar
angka 1000 orang, tetapi ada pula yang menyebutkan angka yang lebih besar dari
itu.
Saatnya negara menunjukkan tajinya
Negara diciptakan untuk rakyat,
bukan sebaliknya. Jika negara telah gagal melindungi rakyatnya, maka jangan
salahkan rakyat yang kemudian berjuang sendiri. Jika hal itu yang terjadi, maka
sebenarnya kelangsungan hidup negeri ini benar-benar sudah di ujung tanduk.
Untuk itulah, pemerintah sebagai pemangku kebijakan tertinggi harus berani
mengambil langkah tegas. Diam melihat rakyatnya menderita di bawah kaki para
preman atau memberantas mereka dan mempersembahkan bakti kepada rakyat berupa
rasa aman nan tenteram.
Jika negeri ini memilih untuk tunduk
di bawah kaki para preman, dan membiarkan rakyat terus hidup dalam ketakutan,
maka sejatinya negeri ini adalah negeri
yang gagal.
Post a Comment for "AWAS, NEGARA DALAM CENGKERAMAN PREMAN"
Tidak menerima komentar berbau SARA, kampanye, iklan judi, pornografi, atau spam.