Budaya Korup Di Kampus-Kampus Indonesia
Kumpulan Esai - Korupsi di negeri ini tampaknya sudah menjadi tumor yang sulit untuk dibasmi. Bagaimana tidak? Di lingkungan pemerintahan saja, indikasi korupsi dapat dikatakan sudah menjangkiti setiap tingkatannya, mulai dari pemerintah pusat hingga daerah.
Padahal almarhum mantan Presiden Abdurrahman Wahid pernah berujar jika seluruh kekayaan alam di Indonesia mampu untuk mencukupi kehidupan seluruh penduduk, tetapi tidak akan cukup untuk memuaskan seorang koruptor.
Hampir setiap tahun, ada saja kasus korupsi besar yang terjadi. Kerugian negara pun semakin membengkak. Padahal, tidak semua kasus korupsi mampu diselesaikan dengan segera. Bertambahnya kasus korupsi di negeri ini berarti bertambah pula pekerjaan rumah bagi KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) maupun Kejaksaan dan Kepolisian.
KPK, Kejaksaan dan Kepolisian merupakan trivium dalam upaya pemberantasan korupsi. Sebagai institusi yang memang dibentuk untuk menjalankan fungsi hukum, trivium tersebut harus bekerja secara kompak dan berkoordinasi dengan baik.
Sayangnya, lebih banyak rakyat mendengar tentang ketidakharmonisan dari trivium penegak hukum tersebut. Pihak yang paling sering berseteru tentu saja KPK dan Kepolisian. Bahkan, tak jarang dua institusi andalan dalam penegakan hukum itu saling ‘terkam’, baik di media maupun di lapangan. Tentu semua masih ingat bagaimana perseteruan cicak vs buaya, di mana KPK harus bertarung melawan Kepolisian, institusi yang seharusnya menjadi partner kerjanya.
Usut punya usut, ternyata salah satu faktor yang mendalangi perseteruan antara KPK dengan polisi adalah karena begitu banyaknya anggota polisi yang dijadikan tersangka oleh KPK. Terakhir, salah seorang petinggi Polri, Inspektur Jenderal Djoko Susilo harus meringkuk di penjara sebagai seorang pesakitan karena didakwa melakukan korupsi pengadaan alat simulator ujian SIM.
Sungguh tragis, polisi yang harusnya membongkar korupsi dan menegakkan hukum justru tersandung kasus korupsi. Memang benar polisi adalah manusia, dan manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Tetapi jika kalimat itu digunakan sebagai alibi bagi pemakluman sekian kasus korupsi yang dilakukan oleh korps bhayangkara, bukankah lebih baik jika sekalian saja Polri dibubarkan?
Tidak hanya polisi, kasus korupsi juga melanda para anggota dewan yang terhormat, mulai dari DPR RI hingga DPRD Kota/Kabupaten. Padahal mereka dipilih oleh rakyat sebagai pengemban aspirasi rakyat. Tetapi begitu mendapat kursi empuk, mereka seakan lupa dari mana berasal. Para legislator korup tersebut tak ubahnya seperti kutu busuk yang harus segera dibersihkan, agar negeri ini mampu bergerak maju.
Apalagi, jumlah legislator yang terjerat kasus korupsi semakin lama semakin banyak. Saking banyaknya, mungkin tidak ada satu lembaga survey mana pun yang mampu mengkalkulasi para legislator korup tersebut. Itu pun baru mereka yang sudah menjadi terdakwa, belum termasuk mereka yang sudah berhasil merampok uang negara dan belum terkena jerat hukum.
Uniknya, ada kasus di mana seorang legislator juga berkolaborasi dengan menteri dan orang partai untuk bersama-sama melakukan korupsi berjamaah. Jahatnya lagi, korupsi bareng-bareng tersebut bertujuan untuk mengisi kas partai. Tidak percaya? Lihat saja kasus Hambalang, di mana beberapa oknum politisi partai demokrat bersatu padu untuk menggerogoti uang negara, seperti tikus yang menggerogoti meja. Mungkin kasus korupsi import daging sapi yang melibatkan presiden PKS, Luthfi Hasan dan Ahmad ‘cassanova’ Fathanah juga akan berujung sama.
Memburu jejak awal
Dari paparan di atas, mungkin sudah sepatutnya kita berbelasungkawa yang begitu mendalam atas matinya hati nurani para pembesar negara. Para politisi, anggota DPR, menteri, dan bahkan pejabat Kepolisian. Mereka semua orang-orang cerdas dan pilihan, tetapi ternyata menggunakan kecerdasannya bukan untuk membangun negara tercinta, melainkan untuk memperkaya diri dan partainya. Ada apa sebenarnya ini?
Mereka (para politisi, anggota DPR dan polisi) tentu adalah orang-orang berpendidikan. Tidak hanya lulusan S1, bahkan banyak dari mereka yang memiliki ijasah Magister. Lantas, apakah intelektualitas yang mereka miliki memang hanya digunakan untuk tujuan memperkaya diri? Apakah ada sesuatu yang salah dengan jejak-jejak mereka ketika menuntut ilmu di kampus?
Bermula dari kampus yang sakit?
Dunia kampus memang sangat berbeda dari dunia sekolah (SMA). Di kampus, para mahasiswa benar-benar memiliki peluang untuk mengembangkan diri, baik dengan ikut organisasi kemahasiswaan, unit kegiatan mahasiswa ataupun langsung menjadi pengurus partai. Pengalaman semasa kuliah juga dapat menjadi modal berharga dalam meniti karir kelak.
Melihat banyaknya kasus korupsi yang melibatkan para cerdik pandai di Indonesia, maka tidaklah salah jika kemudian mulai muncul pertanyaan, ada apa dengan kampus-kampus kita? Ternyata, rata-rata kampus di negeri ini memiliki beberapa budaya (tradisi) yang sebenarnya justru dapat memperbanyak jumlah koruptor. Berikut adalah beberapa di antaranya.
Menyogok agar bisa masuk
Sogok-menyogok memang sudah menjadi budaya di negeri ini. Banyak yang menyalahkan rezim Soeharto sebagai biang kerok. Di masa Soeharto berkuasa, memang negeri ini makin gemar melakukan sogok-menyogok. Sayangnya ketika masa reformasi datang dan era Soeharto musnah, praktik suap ini tak ikut musnah.
Biasanya praktik suap ini terjadi menjelang SPMB atau Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru. Ada yang sembunyi-sembunyi melalui pintu belakang tapi ada pula yang terang-terangan, yakni melalui jalur sumbangan. Jalur sumbangan ini banyak dikenal di perguruan tinggi swasta yang bergengsi, di mana calon mahasiswa, sehancur apapun nilainya, akan diterima, asal mampu memberikan ‘kontribusi bagi pengembangan pendidikan’. Sebuah kalimat mulia yang ternyata hanya dijadikan kedok mencari duit saweran.
Dalam perguruan tinggi kedinasan, suap juga tidak bisa dilepaskan. Beberapa tahun lalu, Inu Kencana, dosen IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri), pernah mengungkap adanya praktik suap di institusi pencetak pamong rakyat itu. Lantas, apakah praktik suap ini juga terjadi di institusi pendidikan berbau militer? Tidak ada yang tahu.
Korupsi lembaga kemahasiswaan
Jika pada masa SMA dikenal adanya OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah) maka di dunia kampus ada organisasi mahasiswa bernama BEM/LEM (Badan Eksekutif Mahasiswa/Lembaga Eksekutif Mahasiswa). Seiring dengan napas demokrasi yang berhembus, presiden BEM selaku pimpinan eksekutif tertinggi, dipilih melalui pemilu raya.
Mengapa ada beberapa mahasiswa yang ‘ngebet’ pengen jadi presiden BEM? Tentu ada sebagian yang menjawab untuk mengembangkan diri, menambah pengalaman dan mengabdi bagi kampus serta masyarakat. Ini adalah jawaban para mahasiswa tipe idealis. Tapi tak jarang pula yang mencalonkan diri menjadi presiden BEM karena ingin menambah uang saku.
BEM sebagai wadah aspirasi mahasiswa tentu mendapatkan anggaran dari kampus, baik untuk biaya operasional maupun lainnya. Sayangnya, tidak semua BEM yang ada mampu mempublikasikan laporan keuangannya secara baik kepada kampus maupun civitas akademika. Indikasi korupsi pun muncul. Walau tidak sebesar korupsi Angelina Sondakh di DPR, tetapi jika tidak dibina, keberadaan BEM justru akan menjadi inkubator bagi pengembangan jiwa-jiwa korup di masa depan.
Praktik nepotisme dalam proyek-proyek kampus
Kampus, terutama yang besar, sering pula mendapat proyek dari pemerintah, lembaga research ataupun perusahaan swasta. Sayangnya dalam menjalankan proyek itu, banyak terjadi praktik nepotisme, yaitu mementingkan hubungan kekerabatan. Misal dalam proyek pengawasan Ujian Nasional, di mana setiap tahun hanya diberikan kepada dosen atau mahasiswa yang itu-itu saja, bahkan ketika sang mahasiswa ‘anak emas’ petinggi kampus sudah lulus, tetap mendapat jatah menjadi pengawas. Demi Tuhan, ini sungguh tidak baik.
Belajar menjadi ‘pedagang sapi’
Tentu pedagang sapi di sini bukanlah pedagang sapi dalam arti sebenarnya, melainkan menjadi sales partai politik dalam pemilu. Ada beberapa mahasiswa yang entah karena memiliki karisma, atau pintar berorasi, direkrut oleh partai atau organisasi sayap partai untuk memasarkan calon legislatif (caleg) partainya.
Jika hanya menjadi pendukung yang jujur dan taat hukum, tentu bukan masalah. Masalahnya kemudian ketika para kader muda ini melakukan praktik money politic, memberikan salam tempel dari sang caleg kepada teman-temannya di kampus agar menyontreng wajah sang caleg kelak ketika pemilu.
Dosen-dosen siluman
Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Tabiat para dosen juga memberi pengaruh bagi potensi munculnya budaya-budaya korup. Salah satunya keberadaan dosen siluman alias dosen yang hanya nongol satu atau dua kali dalam satu semester. Dosen yang demikian sebenarnya selain makan gaji buta juga mengajarkan kepada para mahasiswanya nilai-nilai yang sangat tidak etis: ketidakjujuran, manipulatif dan tidak bertanggung jawab.
Bapak senang, IPK naik
Selain adanya dosen siluman, ada lagi dosen-dosen tipikal orde baru yang memiliki kemampuan magis melebihi Harry Potter, mengubah IP (indeks prestasi) mahasiswanya. Ada beberapa dosen yang entah belajar dari mana, memiliki skill mengubah IP jongkok menjadi tiga koma sekian. Tentu ada upeti yang harus dipersiapkan, baik berupa uang maupun yang lain.
Cina pernah hampir kolaps karena angka korupsi yang sangat tinggi. Tetapi negeri komunis itu mau berbenah. Sadar bahwa budaya korup hanya akan memelaratkan rakyat dan merendahkan harga diri bangsa, pemerintah memberi hukuman tegas, mulai dari penjara seumur hidup hingga tembak mati. Sayangnya di negeri ini, belum ada satu koruptor pun yang ditembak mati.
Ada pepatah mengatakan mencegah lebih baik daripada mengobati. Jika memang nyali para pembuat kebijakan di Indonesia belum setangguh di Cina, setidaknya bisa diimbangi dengan menghapus atau meminimalisir budaya-budaya yang berpotensi mencetak koruptor-koruptor baru di masa depan. Ayo berantas budaya korupsi, mulai dari sekarang, dari yang kecil dan dari diri sendiri!
Budaya Korupsi di Kampus |
Padahal almarhum mantan Presiden Abdurrahman Wahid pernah berujar jika seluruh kekayaan alam di Indonesia mampu untuk mencukupi kehidupan seluruh penduduk, tetapi tidak akan cukup untuk memuaskan seorang koruptor.
Hampir setiap tahun, ada saja kasus korupsi besar yang terjadi. Kerugian negara pun semakin membengkak. Padahal, tidak semua kasus korupsi mampu diselesaikan dengan segera. Bertambahnya kasus korupsi di negeri ini berarti bertambah pula pekerjaan rumah bagi KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) maupun Kejaksaan dan Kepolisian.
KPK, Kejaksaan dan Kepolisian merupakan trivium dalam upaya pemberantasan korupsi. Sebagai institusi yang memang dibentuk untuk menjalankan fungsi hukum, trivium tersebut harus bekerja secara kompak dan berkoordinasi dengan baik.
Sayangnya, lebih banyak rakyat mendengar tentang ketidakharmonisan dari trivium penegak hukum tersebut. Pihak yang paling sering berseteru tentu saja KPK dan Kepolisian. Bahkan, tak jarang dua institusi andalan dalam penegakan hukum itu saling ‘terkam’, baik di media maupun di lapangan. Tentu semua masih ingat bagaimana perseteruan cicak vs buaya, di mana KPK harus bertarung melawan Kepolisian, institusi yang seharusnya menjadi partner kerjanya.
Usut punya usut, ternyata salah satu faktor yang mendalangi perseteruan antara KPK dengan polisi adalah karena begitu banyaknya anggota polisi yang dijadikan tersangka oleh KPK. Terakhir, salah seorang petinggi Polri, Inspektur Jenderal Djoko Susilo harus meringkuk di penjara sebagai seorang pesakitan karena didakwa melakukan korupsi pengadaan alat simulator ujian SIM.
Sungguh tragis, polisi yang harusnya membongkar korupsi dan menegakkan hukum justru tersandung kasus korupsi. Memang benar polisi adalah manusia, dan manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Tetapi jika kalimat itu digunakan sebagai alibi bagi pemakluman sekian kasus korupsi yang dilakukan oleh korps bhayangkara, bukankah lebih baik jika sekalian saja Polri dibubarkan?
Tidak hanya polisi, kasus korupsi juga melanda para anggota dewan yang terhormat, mulai dari DPR RI hingga DPRD Kota/Kabupaten. Padahal mereka dipilih oleh rakyat sebagai pengemban aspirasi rakyat. Tetapi begitu mendapat kursi empuk, mereka seakan lupa dari mana berasal. Para legislator korup tersebut tak ubahnya seperti kutu busuk yang harus segera dibersihkan, agar negeri ini mampu bergerak maju.
Apalagi, jumlah legislator yang terjerat kasus korupsi semakin lama semakin banyak. Saking banyaknya, mungkin tidak ada satu lembaga survey mana pun yang mampu mengkalkulasi para legislator korup tersebut. Itu pun baru mereka yang sudah menjadi terdakwa, belum termasuk mereka yang sudah berhasil merampok uang negara dan belum terkena jerat hukum.
Uniknya, ada kasus di mana seorang legislator juga berkolaborasi dengan menteri dan orang partai untuk bersama-sama melakukan korupsi berjamaah. Jahatnya lagi, korupsi bareng-bareng tersebut bertujuan untuk mengisi kas partai. Tidak percaya? Lihat saja kasus Hambalang, di mana beberapa oknum politisi partai demokrat bersatu padu untuk menggerogoti uang negara, seperti tikus yang menggerogoti meja. Mungkin kasus korupsi import daging sapi yang melibatkan presiden PKS, Luthfi Hasan dan Ahmad ‘cassanova’ Fathanah juga akan berujung sama.
Memburu jejak awal
Dari paparan di atas, mungkin sudah sepatutnya kita berbelasungkawa yang begitu mendalam atas matinya hati nurani para pembesar negara. Para politisi, anggota DPR, menteri, dan bahkan pejabat Kepolisian. Mereka semua orang-orang cerdas dan pilihan, tetapi ternyata menggunakan kecerdasannya bukan untuk membangun negara tercinta, melainkan untuk memperkaya diri dan partainya. Ada apa sebenarnya ini?
Mereka (para politisi, anggota DPR dan polisi) tentu adalah orang-orang berpendidikan. Tidak hanya lulusan S1, bahkan banyak dari mereka yang memiliki ijasah Magister. Lantas, apakah intelektualitas yang mereka miliki memang hanya digunakan untuk tujuan memperkaya diri? Apakah ada sesuatu yang salah dengan jejak-jejak mereka ketika menuntut ilmu di kampus?
Bermula dari kampus yang sakit?
Dunia kampus memang sangat berbeda dari dunia sekolah (SMA). Di kampus, para mahasiswa benar-benar memiliki peluang untuk mengembangkan diri, baik dengan ikut organisasi kemahasiswaan, unit kegiatan mahasiswa ataupun langsung menjadi pengurus partai. Pengalaman semasa kuliah juga dapat menjadi modal berharga dalam meniti karir kelak.
Melihat banyaknya kasus korupsi yang melibatkan para cerdik pandai di Indonesia, maka tidaklah salah jika kemudian mulai muncul pertanyaan, ada apa dengan kampus-kampus kita? Ternyata, rata-rata kampus di negeri ini memiliki beberapa budaya (tradisi) yang sebenarnya justru dapat memperbanyak jumlah koruptor. Berikut adalah beberapa di antaranya.
Menyogok agar bisa masuk
Sogok-menyogok memang sudah menjadi budaya di negeri ini. Banyak yang menyalahkan rezim Soeharto sebagai biang kerok. Di masa Soeharto berkuasa, memang negeri ini makin gemar melakukan sogok-menyogok. Sayangnya ketika masa reformasi datang dan era Soeharto musnah, praktik suap ini tak ikut musnah.
Biasanya praktik suap ini terjadi menjelang SPMB atau Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru. Ada yang sembunyi-sembunyi melalui pintu belakang tapi ada pula yang terang-terangan, yakni melalui jalur sumbangan. Jalur sumbangan ini banyak dikenal di perguruan tinggi swasta yang bergengsi, di mana calon mahasiswa, sehancur apapun nilainya, akan diterima, asal mampu memberikan ‘kontribusi bagi pengembangan pendidikan’. Sebuah kalimat mulia yang ternyata hanya dijadikan kedok mencari duit saweran.
Dalam perguruan tinggi kedinasan, suap juga tidak bisa dilepaskan. Beberapa tahun lalu, Inu Kencana, dosen IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri), pernah mengungkap adanya praktik suap di institusi pencetak pamong rakyat itu. Lantas, apakah praktik suap ini juga terjadi di institusi pendidikan berbau militer? Tidak ada yang tahu.
Korupsi lembaga kemahasiswaan
Jika pada masa SMA dikenal adanya OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah) maka di dunia kampus ada organisasi mahasiswa bernama BEM/LEM (Badan Eksekutif Mahasiswa/Lembaga Eksekutif Mahasiswa). Seiring dengan napas demokrasi yang berhembus, presiden BEM selaku pimpinan eksekutif tertinggi, dipilih melalui pemilu raya.
Mengapa ada beberapa mahasiswa yang ‘ngebet’ pengen jadi presiden BEM? Tentu ada sebagian yang menjawab untuk mengembangkan diri, menambah pengalaman dan mengabdi bagi kampus serta masyarakat. Ini adalah jawaban para mahasiswa tipe idealis. Tapi tak jarang pula yang mencalonkan diri menjadi presiden BEM karena ingin menambah uang saku.
BEM sebagai wadah aspirasi mahasiswa tentu mendapatkan anggaran dari kampus, baik untuk biaya operasional maupun lainnya. Sayangnya, tidak semua BEM yang ada mampu mempublikasikan laporan keuangannya secara baik kepada kampus maupun civitas akademika. Indikasi korupsi pun muncul. Walau tidak sebesar korupsi Angelina Sondakh di DPR, tetapi jika tidak dibina, keberadaan BEM justru akan menjadi inkubator bagi pengembangan jiwa-jiwa korup di masa depan.
Praktik nepotisme dalam proyek-proyek kampus
Kampus, terutama yang besar, sering pula mendapat proyek dari pemerintah, lembaga research ataupun perusahaan swasta. Sayangnya dalam menjalankan proyek itu, banyak terjadi praktik nepotisme, yaitu mementingkan hubungan kekerabatan. Misal dalam proyek pengawasan Ujian Nasional, di mana setiap tahun hanya diberikan kepada dosen atau mahasiswa yang itu-itu saja, bahkan ketika sang mahasiswa ‘anak emas’ petinggi kampus sudah lulus, tetap mendapat jatah menjadi pengawas. Demi Tuhan, ini sungguh tidak baik.
Belajar menjadi ‘pedagang sapi’
Tentu pedagang sapi di sini bukanlah pedagang sapi dalam arti sebenarnya, melainkan menjadi sales partai politik dalam pemilu. Ada beberapa mahasiswa yang entah karena memiliki karisma, atau pintar berorasi, direkrut oleh partai atau organisasi sayap partai untuk memasarkan calon legislatif (caleg) partainya.
Jika hanya menjadi pendukung yang jujur dan taat hukum, tentu bukan masalah. Masalahnya kemudian ketika para kader muda ini melakukan praktik money politic, memberikan salam tempel dari sang caleg kepada teman-temannya di kampus agar menyontreng wajah sang caleg kelak ketika pemilu.
Dosen-dosen siluman
Dosen Siluman Pemburu Kepuasan |
Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Tabiat para dosen juga memberi pengaruh bagi potensi munculnya budaya-budaya korup. Salah satunya keberadaan dosen siluman alias dosen yang hanya nongol satu atau dua kali dalam satu semester. Dosen yang demikian sebenarnya selain makan gaji buta juga mengajarkan kepada para mahasiswanya nilai-nilai yang sangat tidak etis: ketidakjujuran, manipulatif dan tidak bertanggung jawab.
Bapak senang, IPK naik
Selain adanya dosen siluman, ada lagi dosen-dosen tipikal orde baru yang memiliki kemampuan magis melebihi Harry Potter, mengubah IP (indeks prestasi) mahasiswanya. Ada beberapa dosen yang entah belajar dari mana, memiliki skill mengubah IP jongkok menjadi tiga koma sekian. Tentu ada upeti yang harus dipersiapkan, baik berupa uang maupun yang lain.
Cina pernah hampir kolaps karena angka korupsi yang sangat tinggi. Tetapi negeri komunis itu mau berbenah. Sadar bahwa budaya korup hanya akan memelaratkan rakyat dan merendahkan harga diri bangsa, pemerintah memberi hukuman tegas, mulai dari penjara seumur hidup hingga tembak mati. Sayangnya di negeri ini, belum ada satu koruptor pun yang ditembak mati.
Ada pepatah mengatakan mencegah lebih baik daripada mengobati. Jika memang nyali para pembuat kebijakan di Indonesia belum setangguh di Cina, setidaknya bisa diimbangi dengan menghapus atau meminimalisir budaya-budaya yang berpotensi mencetak koruptor-koruptor baru di masa depan. Ayo berantas budaya korupsi, mulai dari sekarang, dari yang kecil dan dari diri sendiri!
Post a Comment for "Budaya Korup Di Kampus-Kampus Indonesia"
Tidak menerima komentar berbau SARA, kampanye, iklan judi, pornografi, atau spam.