BELAJAR DARI TRAGEDI EKOLOGI DI MASA LALU
Kumpulan Esai - Kepunahan, sebuah kata yang mungkin sangat ditakuti makhluk hidup. Seperti diketahui, semua makhluk hidup memilliki kemampuan untuk bereproduksi, yang memungkinkan mereka untuk menghasilkan keturunan. Tapi itu bukan berarti secara otomatis mereka terhindar dari kepunahan. Ada banyak faktor yang menyebabkan makhluk hidup dapat dengan terpaksa menyandang predikat punah.
Kemampuan reproduksi suatu makhluk sangat berbeda satu dengan yang lain. Ini bukan hanya tentang bertelur pada unggas, beranak pada mamalia, bertunas pada hydra, membelah diri pada amuba atau berbuah dan berbiji pada tumbuhan. Ini tentang bagaimana pola hidup suatu makhluk hidup yang akhirnya mempengaruhi kemampuannya untuk mempertahankan spesiesnya.
Gajah, hewan mamalia darat terbesar saat ini, membutuhkan waktu yang cukup lama untuk bereproduksi.
Waktu kehamilannya yang lama itu juga dilengkapi dengan kemampuannya yang hanya mampu menghasilkan satu keturunan dalam setiap proses persalinannya. Sedang makanan dan area hidupnya terus digerus oleh aktivitas manusia seperti pembukaan ladang baru dan industri.
Gajah sendiri adalah primadona di pasar gelap. Gading, kulit, kuku sampai organ tubuhnya berharga cukup tinggi.
Mengingat sulitnya gajah bereproduksi, maka tak heran jika banyak yang merasa terpukul mendengar berita kematian tiga ekor gajah di Aceh pada awal Juni lalu. Ini belum termasuk kematian-kematian lain dari gajah-gajah Sumatera yang tidak terdokumentasikan.
Hal yang sama juga terjadi pada burung dodo (Raphus cucullatus). Burung yang secara umum mirip merpati (dengan ukuran yang lebih besar) ini adalah sebuah fragmen nyata dari tragedi kepunahan makhluk hidup yang paling menyedihkan. Secara alami burung dodo memang memiliki banyak hal yang membuatnya berpotensi punah.
Selain tidak dapat terbang, memiliki bentuk yang lucu dan tidak takut pada manusia, burung dodo tidak dapat memproduksi keturunannya dalam jumlah massal. Selain itu, para pendatang (baca : manusia) yang kemudian mendiami atau hanya singgah di Mauritus, pulau tempat tinggal burung dodo, adalah alasan selanjutnya dari kepunahan burung ini.
Banyak bukti menyebutkan para pendatang juga membawa kucing, anjing, dan babi, yang kemudian memangsa burung ini. Selain itu, para pelaut dari Melayu, nenek moyang orang Indonesia dan Malaysia yang memang terkenal gemar mengarungi lautan, terkadang juga menangkap dan menyembelih burung ini untuk ritual mereka. Ada pula laporan yang menyebutkan perburuan burung ini untuk konsumsi.
Dan pada tahun 1969 burung ini dilaporkan tidak pernah terlihat lagi atau dengan kata lain: punah. Andaikata naluri penjelajah Melayu dan Eropa tidak pernah membidik pulau Mauritus dan menemukan burung ini pada tahun 1550an, maka mungkin burung ini masih memiliki kisahnya sendiri.
Nauru dan Pulau Paskah, tragedi ekologi selanjutnya
Kisah pilu mengenai burung dodo dari Mauritus tersebut hanyalah sepenggal kisah mengenai keterlibatan manusia, yang katanya adalah makhluk paling cerdas dengan derajat yang mulia, dalam proses kepunahan suatu spesies. Selain terhadap hewan, dalam sejarah manusia pun juga pernah berperan dalam proses penghancuran alam.
Nauru, sebuah negara kepulauan kecil di Lautan Pasifik, adalah contoh yang baik bagi aktivitas manusia yang salah dalam memanfaatkan alam. Pada pertengahan tahun empat puluhan, Nauru bisa dikatakan sebagai surga yang lupa diangkat dari bumi.
Garis pantai yang indah, lautan yang bersih serta kekayaan alam yang melimpah membuat penduduk pulau Nauru hidup dalam kemewahan. Komoditas utama pulau Nauru adalah fosfat, yaitu sebuah unsur yang paling penting untuk menyuburkan tanah dan meningkatkan produksi pertanian. Fosfat ini kemudian ditambang dan diekspor besar-besaran ke berbagai penjuru dunia.
Ekspor fosfat ini menjadikan pemasukan negara berlimpah, cukup untuk membuat seluruh penduduknya makmur.
Hampir semua sektor disubsidi oleh negara. Pada masa itu, bahkan setiap keluarga di Nauru memiliki mobil mewah.
Dengan tingkat produktivitas yang rendah, Nauru benar-benar mengandalkan tambang fosfatnya untuk mencukupi gaya hidup warganya yang kelewat mewah. Makanan, barang elektronik dan pakaian diimpor dari negara lain. Sedang orang Nauru sendiri menyerahkan perkerjaan dan pelayanan teknis pada warga asing, seperti Cina, India dan Filipina. Fosfat memang mampu membuat Nauru tenggelam dalam kemakmuran, tapi setelah itu, sejarah membuktikan bahwa Nauru adalah contoh nyata sebuah negara gagal.
Setelah persediaan fosfat semakin menurun, negara ini limbung. Segala upaya dilakukan, tapi kesadaran yang terlambat itu tidak bisa disembuhkan dengan cara instan. Terakhir, negara ini bersedia menjadi tempat penampungan imigran gelap sebelum diterima Australia, dengan imbalan bantuan bahan makanan dan bahan bakar.
Selain dihadapkan pada usaha untuk memperbaiki keuangan negara, Nauru juga berhadapan pada alam yang rusak parah akibat penambangan fosfat yang gila-gilaan.
Tak beda jauh dari Nauru, tetangga mereka di bagian lautan yang lain, Pulau Paskah juga mengalami hal yang sama. Pulau Paskah sudah lama ditinggalkan oleh penduduknya dan menjadi sebuah museum bagi barisan patung Moa (patung raksasa berbentuk kepala manusia yang ditanam di pantainya). Walau masih ada perdebatan cukup sengit mengapa pulau itu menjadi tandus luar biasa, tapi salah satu teori berikut mungkin mampu membuat pilu siapapun yang menyimak.
Awalnya Pulau ini cukup subur, terbukti dengan banyaknya penemuan fosil tumbuh-tumbuhan di sana. Lalu warga mulai menambang batu-batuan besar, sebagai bahan pembuatan patung Moa. Patung itu sendiri digunakan sebagai simbol kekuasaan para kepala suku pada waktu itu. Tapi tak selang lama, pulau itu hancur. Tanah menjadi tandus dan tumbuhan tak lagi bisa hidup. Akibatnya warga mulai memakan burung dan angsa yang ada di sana.
Setelah populasi binatang itu habis para ahli memperkirakan munculnya sifat kanibalisme pada penduduk yang berujung pada musnahnya kebudayaan di sana. Sekarang, hanya patung-patung moa yang menjadi simbol kebudayaan terakhir di pulau yang kini masuk sebagai bagian dari negara Chili itu.
Sungguh memilukan memang. Hal ini tak lain adalah kurang pahamnya manusia akan alam dan hubungan yang terjadi antar spesies atau komunitas di dalamnya. Jika hal ini terus terjadi maka jangan heran jika banyak spesies lagi yang akan bernasib serupa dengan burung dodo. Ataupun munculnya Nauru-Nauru baru di berbagai tempat, dan membuat manusia pada akhirnya juga kesulitan mempertahankan eksistensinya.
Sebenarnya belum terlambat untuk mencegah semuanya itu. Salah satu senjata utama yang dapat kita gunakan adalah : ekologi. Ekologi sendiri memang sebuah disiplin ilmu yang cukup muda usianya dibanding dengan disiplin ilmu yang lain. Tetapi dengan memahami ekologi, kita dapat mengelola alam lebih ramah dan membuat bumi sebagai rumah bersama bagi semua makhluk.
Ekologi mengajarkan mengenai hubungan antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Istilah ekologi sendiri baru muncul pada 1866 dari Ernst Haeckel, seorang ilmuan dan naturalis asal Jerman. Dalam ekologi kita mengenal mengenai berbagai tipe hubungan antar makhluk, biosfer, serta cara penyelamatan alam dan lingkungan.
Rantai Makanan
Semua makhluk hidup butuh makanan. Dalam upaya makan atau dimakan itu, muncul jaring-jaring makanan yang menghubungkan satu makhluk hidup dengan lainnya. Dalam ekosistem laut misalnya, para plankton mendapat energi dari hasil fotosintesis, yaitu mengubah cahaya matahari menjadi energi. Lalu mereka dimakan oleh kerang, udang dan ubur-ubur.
Udang dimakan oleh ikan kakap, dan ikan kakap dimakan oleh hiu, burung camar atau manusia. Jika laut tercemar, maka plankton akan sulit untuk berfotosintesis. Hal inimengakibatkan tidak hanya populasi plankton yang menurun, tapi populasi pemangsanya menjadi terancam pula.
Dengan memahami rantai makanan, maka kita diharapkan akan semakin arif dalam bertindak. Memburu ular secara membabi buta di sawah akan menyebabkan meledaknya populasi tikus yang justru akan merugikan manusia. Begitu pula dengan perburuan rubah dan serigala yang di luar batas, akan menyebabkan populasi rusa meningkat dan menghabiskan persediaan rumput hijau, yang nantinya juga berakibat pada punahnya spesies rusa tersebut.
Memasyarakatkan Ekologi
Kini saatnya untuk lebih memperkenalkan ekologi pada masyarakat. Baik melalui pendidikan formal, ataupun melalui pembentukan klub-klub pecinta lingkungan. Ekologi hanyalah sebuah disiplin ilmu, tetapi kesadaran manusia untuk lebih mencintai alam dan lingkungan adalah jauh lebih penting. Ekologi dapat menjadi sahabat baik bagi manusia dalam usahanya menjaga kelestarian alam dan makhluk hidup di dalamnya.
Tak jarang usaha untuk menyelamatkan alam harus berhadapan dengan korporasi (perusahaan) besar. Perusahaan tambang, perkebunan, perikanan dan sebagainya biasanya memiliki alasan tersendiri yang terkadang pula beralibi pada dasar-dasar ekologi. Tapi ketika masyarakat sudah paham mengenai ekologi yang sebenarnya, masyarakat bisa semakin yakin untuk bertindak menyelamatkan lingkungannya, walau berhadapan dengan korporasi besar berskala internasional sekalipun.
REFERENSI
1. www.wikipedia.com
2. www.vivanews.com
3. www.Catatanadi.com
4. NatGeo
5. www.Lazyteknlo.blogspot.com
Peninggalan Kuno di Pulau Paskah |
Kemampuan reproduksi suatu makhluk sangat berbeda satu dengan yang lain. Ini bukan hanya tentang bertelur pada unggas, beranak pada mamalia, bertunas pada hydra, membelah diri pada amuba atau berbuah dan berbiji pada tumbuhan. Ini tentang bagaimana pola hidup suatu makhluk hidup yang akhirnya mempengaruhi kemampuannya untuk mempertahankan spesiesnya.
Gajah, hewan mamalia darat terbesar saat ini, membutuhkan waktu yang cukup lama untuk bereproduksi.
Waktu kehamilannya yang lama itu juga dilengkapi dengan kemampuannya yang hanya mampu menghasilkan satu keturunan dalam setiap proses persalinannya. Sedang makanan dan area hidupnya terus digerus oleh aktivitas manusia seperti pembukaan ladang baru dan industri.
Gajah sendiri adalah primadona di pasar gelap. Gading, kulit, kuku sampai organ tubuhnya berharga cukup tinggi.
Mengingat sulitnya gajah bereproduksi, maka tak heran jika banyak yang merasa terpukul mendengar berita kematian tiga ekor gajah di Aceh pada awal Juni lalu. Ini belum termasuk kematian-kematian lain dari gajah-gajah Sumatera yang tidak terdokumentasikan.
Hal yang sama juga terjadi pada burung dodo (Raphus cucullatus). Burung yang secara umum mirip merpati (dengan ukuran yang lebih besar) ini adalah sebuah fragmen nyata dari tragedi kepunahan makhluk hidup yang paling menyedihkan. Secara alami burung dodo memang memiliki banyak hal yang membuatnya berpotensi punah.
Selain tidak dapat terbang, memiliki bentuk yang lucu dan tidak takut pada manusia, burung dodo tidak dapat memproduksi keturunannya dalam jumlah massal. Selain itu, para pendatang (baca : manusia) yang kemudian mendiami atau hanya singgah di Mauritus, pulau tempat tinggal burung dodo, adalah alasan selanjutnya dari kepunahan burung ini.
Banyak bukti menyebutkan para pendatang juga membawa kucing, anjing, dan babi, yang kemudian memangsa burung ini. Selain itu, para pelaut dari Melayu, nenek moyang orang Indonesia dan Malaysia yang memang terkenal gemar mengarungi lautan, terkadang juga menangkap dan menyembelih burung ini untuk ritual mereka. Ada pula laporan yang menyebutkan perburuan burung ini untuk konsumsi.
Dan pada tahun 1969 burung ini dilaporkan tidak pernah terlihat lagi atau dengan kata lain: punah. Andaikata naluri penjelajah Melayu dan Eropa tidak pernah membidik pulau Mauritus dan menemukan burung ini pada tahun 1550an, maka mungkin burung ini masih memiliki kisahnya sendiri.
Nauru dan Pulau Paskah, tragedi ekologi selanjutnya
Kisah pilu mengenai burung dodo dari Mauritus tersebut hanyalah sepenggal kisah mengenai keterlibatan manusia, yang katanya adalah makhluk paling cerdas dengan derajat yang mulia, dalam proses kepunahan suatu spesies. Selain terhadap hewan, dalam sejarah manusia pun juga pernah berperan dalam proses penghancuran alam.
Nauru, sebuah negara kepulauan kecil di Lautan Pasifik, adalah contoh yang baik bagi aktivitas manusia yang salah dalam memanfaatkan alam. Pada pertengahan tahun empat puluhan, Nauru bisa dikatakan sebagai surga yang lupa diangkat dari bumi.
Garis pantai yang indah, lautan yang bersih serta kekayaan alam yang melimpah membuat penduduk pulau Nauru hidup dalam kemewahan. Komoditas utama pulau Nauru adalah fosfat, yaitu sebuah unsur yang paling penting untuk menyuburkan tanah dan meningkatkan produksi pertanian. Fosfat ini kemudian ditambang dan diekspor besar-besaran ke berbagai penjuru dunia.
Ekspor fosfat ini menjadikan pemasukan negara berlimpah, cukup untuk membuat seluruh penduduknya makmur.
Hampir semua sektor disubsidi oleh negara. Pada masa itu, bahkan setiap keluarga di Nauru memiliki mobil mewah.
Dengan tingkat produktivitas yang rendah, Nauru benar-benar mengandalkan tambang fosfatnya untuk mencukupi gaya hidup warganya yang kelewat mewah. Makanan, barang elektronik dan pakaian diimpor dari negara lain. Sedang orang Nauru sendiri menyerahkan perkerjaan dan pelayanan teknis pada warga asing, seperti Cina, India dan Filipina. Fosfat memang mampu membuat Nauru tenggelam dalam kemakmuran, tapi setelah itu, sejarah membuktikan bahwa Nauru adalah contoh nyata sebuah negara gagal.
Setelah persediaan fosfat semakin menurun, negara ini limbung. Segala upaya dilakukan, tapi kesadaran yang terlambat itu tidak bisa disembuhkan dengan cara instan. Terakhir, negara ini bersedia menjadi tempat penampungan imigran gelap sebelum diterima Australia, dengan imbalan bantuan bahan makanan dan bahan bakar.
Selain dihadapkan pada usaha untuk memperbaiki keuangan negara, Nauru juga berhadapan pada alam yang rusak parah akibat penambangan fosfat yang gila-gilaan.
Tak beda jauh dari Nauru, tetangga mereka di bagian lautan yang lain, Pulau Paskah juga mengalami hal yang sama. Pulau Paskah sudah lama ditinggalkan oleh penduduknya dan menjadi sebuah museum bagi barisan patung Moa (patung raksasa berbentuk kepala manusia yang ditanam di pantainya). Walau masih ada perdebatan cukup sengit mengapa pulau itu menjadi tandus luar biasa, tapi salah satu teori berikut mungkin mampu membuat pilu siapapun yang menyimak.
Awalnya Pulau ini cukup subur, terbukti dengan banyaknya penemuan fosil tumbuh-tumbuhan di sana. Lalu warga mulai menambang batu-batuan besar, sebagai bahan pembuatan patung Moa. Patung itu sendiri digunakan sebagai simbol kekuasaan para kepala suku pada waktu itu. Tapi tak selang lama, pulau itu hancur. Tanah menjadi tandus dan tumbuhan tak lagi bisa hidup. Akibatnya warga mulai memakan burung dan angsa yang ada di sana.
Setelah populasi binatang itu habis para ahli memperkirakan munculnya sifat kanibalisme pada penduduk yang berujung pada musnahnya kebudayaan di sana. Sekarang, hanya patung-patung moa yang menjadi simbol kebudayaan terakhir di pulau yang kini masuk sebagai bagian dari negara Chili itu.
Sungguh memilukan memang. Hal ini tak lain adalah kurang pahamnya manusia akan alam dan hubungan yang terjadi antar spesies atau komunitas di dalamnya. Jika hal ini terus terjadi maka jangan heran jika banyak spesies lagi yang akan bernasib serupa dengan burung dodo. Ataupun munculnya Nauru-Nauru baru di berbagai tempat, dan membuat manusia pada akhirnya juga kesulitan mempertahankan eksistensinya.
Sebenarnya belum terlambat untuk mencegah semuanya itu. Salah satu senjata utama yang dapat kita gunakan adalah : ekologi. Ekologi sendiri memang sebuah disiplin ilmu yang cukup muda usianya dibanding dengan disiplin ilmu yang lain. Tetapi dengan memahami ekologi, kita dapat mengelola alam lebih ramah dan membuat bumi sebagai rumah bersama bagi semua makhluk.
Ekologi mengajarkan mengenai hubungan antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Istilah ekologi sendiri baru muncul pada 1866 dari Ernst Haeckel, seorang ilmuan dan naturalis asal Jerman. Dalam ekologi kita mengenal mengenai berbagai tipe hubungan antar makhluk, biosfer, serta cara penyelamatan alam dan lingkungan.
Rantai Makanan
Semua makhluk hidup butuh makanan. Dalam upaya makan atau dimakan itu, muncul jaring-jaring makanan yang menghubungkan satu makhluk hidup dengan lainnya. Dalam ekosistem laut misalnya, para plankton mendapat energi dari hasil fotosintesis, yaitu mengubah cahaya matahari menjadi energi. Lalu mereka dimakan oleh kerang, udang dan ubur-ubur.
Udang dimakan oleh ikan kakap, dan ikan kakap dimakan oleh hiu, burung camar atau manusia. Jika laut tercemar, maka plankton akan sulit untuk berfotosintesis. Hal inimengakibatkan tidak hanya populasi plankton yang menurun, tapi populasi pemangsanya menjadi terancam pula.
Dengan memahami rantai makanan, maka kita diharapkan akan semakin arif dalam bertindak. Memburu ular secara membabi buta di sawah akan menyebabkan meledaknya populasi tikus yang justru akan merugikan manusia. Begitu pula dengan perburuan rubah dan serigala yang di luar batas, akan menyebabkan populasi rusa meningkat dan menghabiskan persediaan rumput hijau, yang nantinya juga berakibat pada punahnya spesies rusa tersebut.
Memasyarakatkan Ekologi
Kini saatnya untuk lebih memperkenalkan ekologi pada masyarakat. Baik melalui pendidikan formal, ataupun melalui pembentukan klub-klub pecinta lingkungan. Ekologi hanyalah sebuah disiplin ilmu, tetapi kesadaran manusia untuk lebih mencintai alam dan lingkungan adalah jauh lebih penting. Ekologi dapat menjadi sahabat baik bagi manusia dalam usahanya menjaga kelestarian alam dan makhluk hidup di dalamnya.
Tak jarang usaha untuk menyelamatkan alam harus berhadapan dengan korporasi (perusahaan) besar. Perusahaan tambang, perkebunan, perikanan dan sebagainya biasanya memiliki alasan tersendiri yang terkadang pula beralibi pada dasar-dasar ekologi. Tapi ketika masyarakat sudah paham mengenai ekologi yang sebenarnya, masyarakat bisa semakin yakin untuk bertindak menyelamatkan lingkungannya, walau berhadapan dengan korporasi besar berskala internasional sekalipun.
REFERENSI
1. www.wikipedia.com
2. www.vivanews.com
3. www.Catatanadi.com
4. NatGeo
5. www.Lazyteknlo.blogspot.com
Post a Comment for "BELAJAR DARI TRAGEDI EKOLOGI DI MASA LALU"
Tidak menerima komentar berbau SARA, kampanye, iklan judi, pornografi, atau spam.