HUT Ke 67 POLRI
Ada sebuah kelakar lucu dan sedikit berbau sarkastik di tengah masyarakat. Kelakar itu berbunyi, “Hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia: polisi tidur, patung polisi dan Jenderal Polisi Hoegeng Santosa!”. Walau mungkin membuat beberapa pihak sedikit gelisah atau bahkan naik darah, tapi jelas kelakar pedas tersebut hingga kini tetap hidup di tengah masyarakat.
Lalu yang jadi pertanyaan, mengapa ada sosok bernama Jenderal Polisi Hoegeng Santosa di sana? Tentu tokoh yang satu ini berbeda dengan dua polisi jujur lainnya, polisi tidur dan patung polisi. Jenderal Hoegeng juga bukan seorang tokoh fiktif macam Lucky Luck, sherif rekaan sebuah perusahaan komik di Amerika Serikat. Jenderal Hoegeng benar-benar ada dan pernah hidup di tengah-tengah bangsa Indonesia, bangsa yang hingga kini harus merana karena dilabeli masyarakat internasional sebagai salah satu bangsa paling korup di dunia.
Jenderal Hoegeng Santosa adalah salah seorang tokoh penting bangsa Indonesia. Peranannya di bidang kemiliteran dan penegakan hukum benar-benar membuat semua orang berdecak kagum tanpa henti. Bahkan mungkin ada banyak pihak yang menganggap semua tindak-tanduk Jenderal Hoegeng Santosa hanyalah fantasi dari masyarakat yang merindukan adanya satu saja sosok polisi yang memang layak dipanggil polisi.
Ada dua hal yang bisa diambil dari pernyataan di atas. Pertama, memang benar bahwa masyarakat selalu dan akan selalu merindukan sosok polisi idaman, dan ini sangat manusiawi. Kedua tapi sangat salah jika tindak-tanduk Jenderal Hoegeng hanya disamakan dengan fantasi fiktif dari relung memori masyarakat yang akhirnya bertumbuh menjadi angan-angan yang jauh dari fakta. Tidak, itu sangat tidak benar. Jenderal Hoegeng memang ada, dan masyarakat tidak buta, hingga kemudian memberi cap polisi paling jujur se-Indonesia kepada beliau.
Jenderal Hoegeng atau Hoegeng Imam Santosa lahir di Pekalongan pada 14 Oktober 1921. Semasa kecil, ia hidup di tengah-tengah ajaran disiplin tingkat tinggi serta pendidikan yang mengutamakan kejujuran, keberanian dan takut pada Tuhan. Semua itu ia dapatkan dari ayahnya, Soekario Hatmodjo, seorang Kepala Kejaksaan di Jawa Tengah. Meski sebenarnya masih berdarah ningrat (turunan bangsawan), tetapi Soekario Hatmodjo tidak pernah mengajarkan Hoegeng kecil untuk berbangga hati. Itulah mengapa semasa kecil, Hoegeng memiliki banyak sekali teman dari kalangan rakyat jelata.
Selain itu, Soekario Hatmojo bersama Ating Natadikusumah (Kepala Polisi) serta Soeprapto (Kepala Pengadilan) dikenal sebagai trio penegak kebenaran yang haram menerima suap. Mungkin trio penegak keadilan itu bisa disamakan dengan pasukannya Sersan John O’Mara, sosok polisi jujur yang merekrut para penegak hukum yang geram akan tindakan para mafia yang dengan mudah membeli polisi dan para hakim.
Bedanya, Soekario Hatmojo benar-benar ada dan hidup semasa penjajahan Belanda, sedang Sersan John O’Mara hanyalah tokoh fiksi dalam film Gangster Squad besutan rumah produksi Hoolywood. Diam-diam Hoegeng kecil mengagumi trio tersebut dan mulai menulis kata polisi sebagai cita-citanya.
Kembali ke tokoh utama kita, nama Hoegeng sendiri ternyata bukan nama aslinya. Oleh ayahnya, ia hanya diberi nama Imam Santosa. Tetapi karena teman-temannya memanggilnya Bugeng (bulat, gendut), yang kemudian berubah menjadi Hoegeng, maka sejak kecil ia akhirnya memiliki tambahan nama baru. Nama Hoegeng itu pula yang nantinya akan menjadi horor tersendiri bagi mereka yang sangat gemar menggerogoti uang negara, termasuk para menteri dan kerabat Soeharto.
Hoegeng menempuh pendidikan formal dimulai dari Hollandsch-Inlandsche School (HIS) pada usia enam tahun. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di MULO atau Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (setingkat sekolah menengah pertama) dan kemudian AMS atau Algemene Middelbare School (setingkat Sekolah Menengah Atas). Setelah lulus AMS, Hoegeng diterima di sekolah hukum RHS di Batavia dan berhasil lulus dengan gelar Sarjana Hukum.
Sebelum memasuki dunia kepolisian, Hoegeng sempat menerima pendidikan kemiliteran ala Dai Nippon dan masuk dalam satuan Keisatsu Bu atau satuan kepolisian sipil pada era Jepang. Ketika republik berdiri dan Bung Karno atas dukungan seluruh rakyat Indonesia menjadi presiden, Hoegeng mulai berkarir di bidang penegakan hukum, yakni sebagai Kepala Bagian Reserse Kriminal di Medan.
Menantang mafia-mafia Medan
Pada tahun 1955, Hoegeng ditugaskan sebagai Kepala Bagian Reserse Kriminal di Medan. Pada saat itu, hanya ada dua kata yang bisa diasosiasikan pada kota Medan, perjudian dan penyelundupan. Di sana, para mafia bebas berkeliaran, menyiksa rakyat dan memperolok hukum. Tetapi begitu Hoegeng datang, maka kiamat bagi para mafia ini sebenarnya juga sudah datang.
Begitu tiba di bandar udara Medan, Hoegeng langsung mendapat cobaan. Seorang utusan salah satu gembong judi besar di Medan menyampaikan salam dan selamat datang dari para penjahat kelas kakap di Medan sambil memberikan sebuah mobil mewah.
Dengan halus, Hoegeng menolak itu semua. Tidak berhenti sampai di situ, rumah dinas Hoegeng langsung dibombardir dengan berbagai hadiah mewah dari para mafia itu. Hoegeng pun memilih tinggal di penginapan murah dan memerintahkan semua barang itu dibuang di jalan depan rumahnya.
Sadar bahwa sosok polisi satu ini tidak bisa disogok, para mafia Medan gelagapan. Benar saja, dalam waktu yang tidak terlalu lama, Hoegeng berhasil menangkap lusinan gembong judi dan penyulundup kelas kakap di Medan. Namanya semakin moncer, baik di mata Bung Karno, maupun di hati rakyat.
Ketika di pindah ke Jakarta, ia pernah disogok oleh seorang pengusaha berwajah jelita nan rupawan yang ternyata juga adalah penyelundup kelas kakap. Pengusaha wanita keturunan Tionghoa-Makassar ini memohon agar kasusnya tidak diperpanjang oleh Hoegeng. Tetapi karena polisi yang satu ini lebih takut pada Tuhan daripada pada rayuan sang pengusaha, kasusnya tetap jalan. Padahal, semua rekan Hoegeng menyarankan agar kasus itu ditutup saja. Sempat tersebar isu, bahwa wanita cantik tersebut tidak segan menemani tidur para jaksa dan polisi agar kasusnya dihentikan. Tapi bagi Hoegeng, hal itu tidak berlaku.
Hoegeng kemudian berhasil menduduki posisi tertinggi dalam kepolisian, yakni Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Pada masa orde baru Hoegeng juga pernah mengungkap skandal yang menimpa seorang menteri di era orde baru. Berkat kesuksesan mengungkap kasus besar tersebut, namanya makin dikenal publik sebagai polisi paling jujur dan berani.
Berbeda dengan Bung Karno, Soeharto mengubah Indonesia menjadi surganya para koruptor. Para koruptor tersebut, asalkan dekat dengan keluarga Cendana, dijamin akan lolos dari hukum. Hal inilah yang juga dinikmati oleh Robby Cahyadi, pengusaha pengemplang pajak dan penyelundup mobil mewah.
Awalnya Jenderal Hoegeng berencana menangkap sang penjahat tersebut. Sadar bahwa yang akan ditangkap punya banyak jaringan, ia berniat meminta saran dari Soeharto. Tetapi betapa masygul hati Jenderal Hoegeng begitu sampai di istana, ia justru melihat Soeharto dan Robby Cahyadi sedang asyik bersenda-gurau bersama. Sejak saat itu, Jenderal Hoegeng mulai mendapat lawan baru, presidennya sendiri.
Dari sekian kasus heboh yang pernah diungkap oleh Jenderal Hoegeng, ada satu kasus yang menjadi bebannya hingga akhir masa pensiunnya. Kasus itu tidak lain adalah kasus Sum Kuning. Sum Kuning adalah sebuah kasus yang mungkin paling misterius di Indonesia. Korbannya adalah Sumarijem, seorang gadis jelita dari kalangan jelata. Gadis yang sehari-hari bekerja sebagai penjual telor itu diculik, diperkosa dan kemudian ditelantarkan. Kasusnya menjadi besar ketika ternyata menyeret para anak pembesar di Daerah Istimewa Yogyakarta..
Karena konstelasi yang semakin membesar, Jenderal Polisi Hoegeng langsung turun tangan. Dengan gagah, ia berkata bahwa dirinya hanya takut kepada Tuhan Yang Maha Esa, bukannya kepada anak-anak para pembesar itu. Sidang pun digelar dan pers secara rutin menyoroti kasus ini.
Ketika penyidikan sedang berjalan, Soeharto tiba-tiba berulah dengan jalan menyerahkan kasus tersebut kepada Pangkopkamtibnas (Panglima Komando Operasi Pemulihan Ketertiban dan Keamanan Nasional). Diktator orde baru itu ternyata lebih membela anak-anak para pembesar tersebut dan justru membuat Sumarijem, sang korban menjadi lebih menderita. Selain kasusnya ditutup, Sum dituduh membuat laporan palsu, dituduh sebagai anggota PKI (Partai Komunis Indonesia) dan sempat mendapat tekanan dari pihak yang berwajib.
Kasus Sum Kuning berakhir dengan dua hal. Pertama munculnya 10 tersangka rekaan yang kesemuanya menolak tuduhan keji tersebut. Kedua, Jenderal Polisi Hoegeng dipensiun dini. Jika ada orang yang mengatakan bahwa zaman Soeharto jauh lebih enak dari zaman sekarang, maka mungkin istri, ibu atau anak-anak mereka harus merasakan apa yang dirasakan Sumarijem agar mereka sadar bahwa pernyataannya tersebut sangatlah tidak logis.
Itulah sekelumit kisah mengenai Jenderal Hoegeng, Jenderal Polisi yang dengan ikhlas menunaikan tugasnya sebagai penegak hukum. Seorang pimpinan yang memberikan teladan nyata, bahkan sering mengatur lalu lintas dengan tetap memakai seragam Kapolri ketika sang polisi lalu lintas tidak tahu entah kemana. Seorang hamba hukum yang lebih memilih pensiun dengan uang halal walaupun hanya sebesar Rp 10.000 per bulan.
Kini dengan momentum HUT POLRI ke-67 sekaligus sebagai Hari Bhayangkara, seluruh elemen bangsa merindukan korps polisi kita makin terpanggil untuk menjadi korps penegak hukum yang jujur, mencintai rakyat serta profesional. Rakyat merindukan korps polisi dengan gagah berani berkata: “Kami hanya takut pada Tuhan, bukannya para koruptor, pengedar narkotika, pengemplang pajak, dan pelanggar HAM!” Selamat Ulang Tahun POLRI.
Lalu yang jadi pertanyaan, mengapa ada sosok bernama Jenderal Polisi Hoegeng Santosa di sana? Tentu tokoh yang satu ini berbeda dengan dua polisi jujur lainnya, polisi tidur dan patung polisi. Jenderal Hoegeng juga bukan seorang tokoh fiktif macam Lucky Luck, sherif rekaan sebuah perusahaan komik di Amerika Serikat. Jenderal Hoegeng benar-benar ada dan pernah hidup di tengah-tengah bangsa Indonesia, bangsa yang hingga kini harus merana karena dilabeli masyarakat internasional sebagai salah satu bangsa paling korup di dunia.
Bercita-cita menjadi polisi
Jenderal Hoegeng Santosa adalah salah seorang tokoh penting bangsa Indonesia. Peranannya di bidang kemiliteran dan penegakan hukum benar-benar membuat semua orang berdecak kagum tanpa henti. Bahkan mungkin ada banyak pihak yang menganggap semua tindak-tanduk Jenderal Hoegeng Santosa hanyalah fantasi dari masyarakat yang merindukan adanya satu saja sosok polisi yang memang layak dipanggil polisi.
Ada dua hal yang bisa diambil dari pernyataan di atas. Pertama, memang benar bahwa masyarakat selalu dan akan selalu merindukan sosok polisi idaman, dan ini sangat manusiawi. Kedua tapi sangat salah jika tindak-tanduk Jenderal Hoegeng hanya disamakan dengan fantasi fiktif dari relung memori masyarakat yang akhirnya bertumbuh menjadi angan-angan yang jauh dari fakta. Tidak, itu sangat tidak benar. Jenderal Hoegeng memang ada, dan masyarakat tidak buta, hingga kemudian memberi cap polisi paling jujur se-Indonesia kepada beliau.
Jenderal Hoegeng atau Hoegeng Imam Santosa lahir di Pekalongan pada 14 Oktober 1921. Semasa kecil, ia hidup di tengah-tengah ajaran disiplin tingkat tinggi serta pendidikan yang mengutamakan kejujuran, keberanian dan takut pada Tuhan. Semua itu ia dapatkan dari ayahnya, Soekario Hatmodjo, seorang Kepala Kejaksaan di Jawa Tengah. Meski sebenarnya masih berdarah ningrat (turunan bangsawan), tetapi Soekario Hatmodjo tidak pernah mengajarkan Hoegeng kecil untuk berbangga hati. Itulah mengapa semasa kecil, Hoegeng memiliki banyak sekali teman dari kalangan rakyat jelata.
Selain itu, Soekario Hatmojo bersama Ating Natadikusumah (Kepala Polisi) serta Soeprapto (Kepala Pengadilan) dikenal sebagai trio penegak kebenaran yang haram menerima suap. Mungkin trio penegak keadilan itu bisa disamakan dengan pasukannya Sersan John O’Mara, sosok polisi jujur yang merekrut para penegak hukum yang geram akan tindakan para mafia yang dengan mudah membeli polisi dan para hakim.
Bedanya, Soekario Hatmojo benar-benar ada dan hidup semasa penjajahan Belanda, sedang Sersan John O’Mara hanyalah tokoh fiksi dalam film Gangster Squad besutan rumah produksi Hoolywood. Diam-diam Hoegeng kecil mengagumi trio tersebut dan mulai menulis kata polisi sebagai cita-citanya.
Kembali ke tokoh utama kita, nama Hoegeng sendiri ternyata bukan nama aslinya. Oleh ayahnya, ia hanya diberi nama Imam Santosa. Tetapi karena teman-temannya memanggilnya Bugeng (bulat, gendut), yang kemudian berubah menjadi Hoegeng, maka sejak kecil ia akhirnya memiliki tambahan nama baru. Nama Hoegeng itu pula yang nantinya akan menjadi horor tersendiri bagi mereka yang sangat gemar menggerogoti uang negara, termasuk para menteri dan kerabat Soeharto.
Hoegeng menempuh pendidikan formal dimulai dari Hollandsch-Inlandsche School (HIS) pada usia enam tahun. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di MULO atau Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (setingkat sekolah menengah pertama) dan kemudian AMS atau Algemene Middelbare School (setingkat Sekolah Menengah Atas). Setelah lulus AMS, Hoegeng diterima di sekolah hukum RHS di Batavia dan berhasil lulus dengan gelar Sarjana Hukum.
Meniti karir dari bawah
Sebelum memasuki dunia kepolisian, Hoegeng sempat menerima pendidikan kemiliteran ala Dai Nippon dan masuk dalam satuan Keisatsu Bu atau satuan kepolisian sipil pada era Jepang. Ketika republik berdiri dan Bung Karno atas dukungan seluruh rakyat Indonesia menjadi presiden, Hoegeng mulai berkarir di bidang penegakan hukum, yakni sebagai Kepala Bagian Reserse Kriminal di Medan.
Menantang mafia-mafia Medan
Pada tahun 1955, Hoegeng ditugaskan sebagai Kepala Bagian Reserse Kriminal di Medan. Pada saat itu, hanya ada dua kata yang bisa diasosiasikan pada kota Medan, perjudian dan penyelundupan. Di sana, para mafia bebas berkeliaran, menyiksa rakyat dan memperolok hukum. Tetapi begitu Hoegeng datang, maka kiamat bagi para mafia ini sebenarnya juga sudah datang.
Begitu tiba di bandar udara Medan, Hoegeng langsung mendapat cobaan. Seorang utusan salah satu gembong judi besar di Medan menyampaikan salam dan selamat datang dari para penjahat kelas kakap di Medan sambil memberikan sebuah mobil mewah.
Dengan halus, Hoegeng menolak itu semua. Tidak berhenti sampai di situ, rumah dinas Hoegeng langsung dibombardir dengan berbagai hadiah mewah dari para mafia itu. Hoegeng pun memilih tinggal di penginapan murah dan memerintahkan semua barang itu dibuang di jalan depan rumahnya.
Sadar bahwa sosok polisi satu ini tidak bisa disogok, para mafia Medan gelagapan. Benar saja, dalam waktu yang tidak terlalu lama, Hoegeng berhasil menangkap lusinan gembong judi dan penyulundup kelas kakap di Medan. Namanya semakin moncer, baik di mata Bung Karno, maupun di hati rakyat.
Melawan para menteri korup orde baru
Ketika di pindah ke Jakarta, ia pernah disogok oleh seorang pengusaha berwajah jelita nan rupawan yang ternyata juga adalah penyelundup kelas kakap. Pengusaha wanita keturunan Tionghoa-Makassar ini memohon agar kasusnya tidak diperpanjang oleh Hoegeng. Tetapi karena polisi yang satu ini lebih takut pada Tuhan daripada pada rayuan sang pengusaha, kasusnya tetap jalan. Padahal, semua rekan Hoegeng menyarankan agar kasus itu ditutup saja. Sempat tersebar isu, bahwa wanita cantik tersebut tidak segan menemani tidur para jaksa dan polisi agar kasusnya dihentikan. Tapi bagi Hoegeng, hal itu tidak berlaku.
Hoegeng kemudian berhasil menduduki posisi tertinggi dalam kepolisian, yakni Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Pada masa orde baru Hoegeng juga pernah mengungkap skandal yang menimpa seorang menteri di era orde baru. Berkat kesuksesan mengungkap kasus besar tersebut, namanya makin dikenal publik sebagai polisi paling jujur dan berani.
Mengungkap kejahatan kerabat Cendana
Berbeda dengan Bung Karno, Soeharto mengubah Indonesia menjadi surganya para koruptor. Para koruptor tersebut, asalkan dekat dengan keluarga Cendana, dijamin akan lolos dari hukum. Hal inilah yang juga dinikmati oleh Robby Cahyadi, pengusaha pengemplang pajak dan penyelundup mobil mewah.
Awalnya Jenderal Hoegeng berencana menangkap sang penjahat tersebut. Sadar bahwa yang akan ditangkap punya banyak jaringan, ia berniat meminta saran dari Soeharto. Tetapi betapa masygul hati Jenderal Hoegeng begitu sampai di istana, ia justru melihat Soeharto dan Robby Cahyadi sedang asyik bersenda-gurau bersama. Sejak saat itu, Jenderal Hoegeng mulai mendapat lawan baru, presidennya sendiri.
Tragedi Sum Kuning
Dari sekian kasus heboh yang pernah diungkap oleh Jenderal Hoegeng, ada satu kasus yang menjadi bebannya hingga akhir masa pensiunnya. Kasus itu tidak lain adalah kasus Sum Kuning. Sum Kuning adalah sebuah kasus yang mungkin paling misterius di Indonesia. Korbannya adalah Sumarijem, seorang gadis jelita dari kalangan jelata. Gadis yang sehari-hari bekerja sebagai penjual telor itu diculik, diperkosa dan kemudian ditelantarkan. Kasusnya menjadi besar ketika ternyata menyeret para anak pembesar di Daerah Istimewa Yogyakarta..
Karena konstelasi yang semakin membesar, Jenderal Polisi Hoegeng langsung turun tangan. Dengan gagah, ia berkata bahwa dirinya hanya takut kepada Tuhan Yang Maha Esa, bukannya kepada anak-anak para pembesar itu. Sidang pun digelar dan pers secara rutin menyoroti kasus ini.
Ketika penyidikan sedang berjalan, Soeharto tiba-tiba berulah dengan jalan menyerahkan kasus tersebut kepada Pangkopkamtibnas (Panglima Komando Operasi Pemulihan Ketertiban dan Keamanan Nasional). Diktator orde baru itu ternyata lebih membela anak-anak para pembesar tersebut dan justru membuat Sumarijem, sang korban menjadi lebih menderita. Selain kasusnya ditutup, Sum dituduh membuat laporan palsu, dituduh sebagai anggota PKI (Partai Komunis Indonesia) dan sempat mendapat tekanan dari pihak yang berwajib.
Kasus Sum Kuning berakhir dengan dua hal. Pertama munculnya 10 tersangka rekaan yang kesemuanya menolak tuduhan keji tersebut. Kedua, Jenderal Polisi Hoegeng dipensiun dini. Jika ada orang yang mengatakan bahwa zaman Soeharto jauh lebih enak dari zaman sekarang, maka mungkin istri, ibu atau anak-anak mereka harus merasakan apa yang dirasakan Sumarijem agar mereka sadar bahwa pernyataannya tersebut sangatlah tidak logis.
Meneladani Jenderal Hoegeng
![]() |
Mantan Kaporli, Jenderal Hoegeng |
Itulah sekelumit kisah mengenai Jenderal Hoegeng, Jenderal Polisi yang dengan ikhlas menunaikan tugasnya sebagai penegak hukum. Seorang pimpinan yang memberikan teladan nyata, bahkan sering mengatur lalu lintas dengan tetap memakai seragam Kapolri ketika sang polisi lalu lintas tidak tahu entah kemana. Seorang hamba hukum yang lebih memilih pensiun dengan uang halal walaupun hanya sebesar Rp 10.000 per bulan.
Kini dengan momentum HUT POLRI ke-67 sekaligus sebagai Hari Bhayangkara, seluruh elemen bangsa merindukan korps polisi kita makin terpanggil untuk menjadi korps penegak hukum yang jujur, mencintai rakyat serta profesional. Rakyat merindukan korps polisi dengan gagah berani berkata: “Kami hanya takut pada Tuhan, bukannya para koruptor, pengedar narkotika, pengemplang pajak, dan pelanggar HAM!” Selamat Ulang Tahun POLRI.
Post a Comment for "HUT Ke 67 POLRI"
Tidak menerima komentar berbau SARA, kampanye, iklan judi, pornografi, atau spam.