Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

26 JUNI, HARI UNTUK MEMBELA MEREKA YANG TERTINDAS

Kumpulan Esai - 26 Juni adalah sebuah hari khusus bagi dunia. Di hari itu, seluruh dunia merayakan kesadaran untuk membela mereka yang lemah.

Korban Penindasan
Pendudukan Inggris Atas Kenya

“This is an occasion for the world to speak up against the unspeakable.” (Inilah suatu kesempatan bagi seluruh dunia untuk mengatakan hal-hal yang tidak terkatakan). Demikianlah salah satu potongan kecil kalimat yang diambil dari pidato Koffi Annan, mantan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Sudah sejak 26 tahun yang lalu tanggal 26 Juni diperingati sebagai Hari Internasional untuk Melawan Penyiksaan yang Kejam.

Walau pada akhirnya disepakati oleh puluhan negara, ternyata masih banyak pemerintahan di dunia yang melakukan tindakan penyiksaan, baik kepada tawanan perang, tahanan politik, pelaku kriminal atau pemberontak yang tertangkap.

Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh beberapa pemerintahan di dunia tersebut ternyata ada yang sampai melewati batas kemanusiaan dan merendahkan martabat manusia.

Sayangnya, banyak dari korban penyiksaan ini tidak mampu bersuara. Kebebasan mereka dikekang, hak mereka dirampas, keluarga mereka berada di bawah ancaman atau bahkan mereka sendiri berpotensi untuk mendapat perlakuan yang lebih beringas lagi. Untuk itulah diperlukan suatu keberanian dari solidaritas internasional untuk membela mereka yang tidak lagi mampu membela hak-haknya sendiri.

Anak 14 Dollar

Benua hitam Afrika sudah lama dikenal sebagai salah satu benua yang paling bergejolak sepanjang masa. Pemberontakan  terjadi hampir setiap tahun di berbagai negara Afrika, hingga perang dan wabah penyakit selalu mewarnai lembar-lembar sejarah Afrika. Tetapi ada satu lembar hitam dalam sejarah Afrika yang hingga hari ini belum bisa berhenti untuk ditulis. Sebuah lembar yang bercerita mengenai korban perbudakan berusia belia. Sebuah lembar yang setiap barisnya berisi kesedihan dan kepedihan tiada tara. Suatu lembar yang terkadang ternyata ditulis oleh pemerintah yang berkuasa.

Pada tahun 2001, sebuah tim beranggotakan kepolisian Pantai Gading menghentikan sebuah bus yang mengangkut puluhan anak berusia 12 tahun. Ternyata anak-anak ini adalah korban perbudakan perusahaan coklat. Coklat memang merupakan sumber pemasukan andalan Pantai Gading, di samping batu mulia dan gading gajah. Tetapi meluasnya perkebunan coklat dalam dua dasawarsa ini juga melahirkan sebuah fenomena keji, perbudakan anak-anak.

Selain Pantai Gading, Ghana juga dikenal sebagai penghasil coklat yang baik. Tetapi siapa sangka, coklat yang kemudian diolah di Eropa lalu dijual ke seluruh dunia ini adalah saksi bisu dari jerit tangis para budak belia yang banyak diantara mereka juga adalah korban human trafficking alias penjualan manusia.

Anak-anak usia belia ini harus menukar masa keceriaan mereka dengan hari-hari penuh ketakutan dan perjuangan. Sayangnya, hasil penjualan coklat, sesuatu yang mereka tanam, pelihara dan petik, lebih banyak dinikmati oleh pejabat pemerintahan yang korup, pedagang coklat yang gila uang serta pemilik industri coklat yang kapitalis. Para budak ini hanya diberi makan seadanya agar tidak mati dan masih mampu menanam coklat keesokan harinya.

Di beberapa negara seperti Libya, anak-anak justru menjadi anggota pasukan bersenjata. Di Benin, anak-anak dijual hanya dengan harga 14 dolar. Sungguh suatu penghinaan besar terhadap harkat dan martabat manusia. Selain Pantai Gading, di Nigeria dan Gabon, seorang anak hanya dihargai 40 dolar untuk dijadikan buruh di perkebunan coklat dan kapas.

Maraknya penjualan anak ditengarai juga tidak lepas dari perilaku pembiaran dari negara. Banyak penguasa daerah atau para junta militer membiarkan hal itu terjadi, karena mereka dipercaya juga mendapat sogokan dari para makelar jual-beli manusia. Inilah saatnya dunia turun tangan, bersatu dan bekerja sama untuk menyudahi horor kelam di benua Afrika ini. Bukankah sebelum semua umat manusia menjadi merdeka, kita semua masihlah seorang budak? (Abrahan Lincoln)

Pasukan Tanpa Hati Nurani

Jepang adalah salah satu negara yang dinilai paling ramah, baik kepada pendatang maupun kepada alam. Tapi jangan lupa, negeri yang selalu mengagung-agungkan diri sebagai tempat matahari terbit itu pernah terlibat suatu kekejian panjang yang dilakukannya kepada jutaan umat manusia, mulai dari China hingga Indonesia.

Hitung saja jumlah korban romusha, yang jumlahnya sangat banyak, bahkan saking banyaknya sering disebut sebanyak bintang di langit dan pasir di tepi pantai. Romusha atau sistem kerja paksa pada saat penjajahan Jepang adalah satu sistem kerja paksa paling brutal, biadab dan dibenci, terutama oleh negara-negara Asia Timur dan Tenggara.

Lihat saja betapa marahnya orang Taiwan ataupun RRC ketika salah seorang pejabat Jepang berkunjung ke negeri mereka. Begitu pula bagaimana bencinya pejuang Indonesia dan Vietnam kepada pemerintah  Jepang ketika mereka dengan congkak berjanji akan memberikan kompensasi kepada para veteran perang.

Walau Jepang diagung-agungkan sebagai salah satu negara paling makmur di dunia, tapi negeri Doraemon itu tetap berstatus sebagai negara yang kalah perang. Akibatnya negeri itu harus menerima berbagai syarat dari Sekutu, seperti dilarang memiliki pasukan reguler.

Akibatnya, negeri yang selalu dilanda ketakutan ketika melihat megahnya militer Taiwan, majunya rudal Korea Utara atau tangguhnya armada perang RRC ini selalu bersembunyi di bawah ketiak tentara NATO (Pakta Pertahanan Atlantik Utara) pimpinan Amerika Serikat, yang mereka izinkan memiliki pangkalan militer di Okinawa. Jepang juga harus membayar denda perang, terutama kepada para korbannya di negeri-negeri yang dulu pernah dijajahnya.

Tapi ternyata, Jepang tidak sepenuhnya memenuhi kewajiban tersebut. Ada banyak korban pelecehan seksual yang biasa disebut Jugun Ianfu. Mereka tersebar dari Myanmar hingga Indonesia. Hampir setiap negara jajahan Jepang memiliki wanita-wanita eks Jugun Ianfu. Mereka diculik dari keluarganya, diperkosa secara bergiliran atau beramai-ramai oleh tentara Jepang, lalu kemudian dicampakkan.

Kesaksian 200 ribu wanita seantero Asia yang menceritakan kepada dunia tentang nafsu hewan para tentara Jepang ini ternyata pernah dipatahkan oleh Perdana Menteri Jepang, Shenzo Abe. Pada 2001, Abe secara kelewatan mengakui pemerintah Jepang tidak punya bukti tentang adanya praktik Jugun Ianfu. Sungguh neraka paling dalam pun tidak akan cukup untuk mengganjar pengingkaran sejarah yang kurang ajar seperti itu.

Menurut Estu Fanani dari Jaringan Advokasi Jugun Ianfu, pemerintah Jepang sering menggunakan dana bantuan hibah kepada negara-negara miskin di Asia Tenggara, sehingga pemerintah kurang agresif dalam membela rakyatnya sendiri. Lihat saja penuturan Mardiyem, wanita tegar yang pernah menjadi korban kebejatan serdadu-serdadu Jepang tersebut di era perang kemerdekaan. Pada saat dipaksa dijadikan pemuas nafsu para seradu Jepang, ia baru berusia 13 tahun. Bersama hampir 50 perempuan Indonesia, ia dipekerjakan di sebuah hotel di Kalimantan. Setiap hari pelecehan dan kekerasan harus ia terima.

Bayangkan bagaimana hancur hati Mardiyem dan mungkin teman-temannya yang rata-rata sudah berpulang ke rumah Tuhan, demi mendengar penyangkalan sejarah yang dilakukan oleh Abe?

Lantas apa yang dilakukan pemerintah? Tercatat, hanya di masa Ir. Soekarno, Indonesia dengan gagah berani menuntut kompensasi dari Jepang. Pemerintah Jepang waktu itu memberikan kompensasi walaupun belum sepenuhnya. Tetapi sejak Orde Baru berkuasa, nasib veteran dan korban Jugun Ianfu seakan tenggelam dan tergadaikan oleh Soeharto, Presiden yang juga sama brutalnya dengan tentara negeri Shinchan itu.

Korban Tragedi 1965

Di dalam negeri, masih banyak korban penyiksaan dan hukuman yang sewenang-wenang dari pemerintahnya sendiri, terutama bagi mereka para loyalis Bung Karno. Sejak terbitnya sebuah rezim tiran dan haus darah bernama Orde Baru di tahun 1965, maka dimulai pula sebuah masa pembantaian paling keji di Indonesia.

Karena hanya dicurigai sebagai komunis atau pengikut Bung Karno, orang dapat dengan mudah ditangkap tentara, disiksa sampai di luar batas kemanusiaan, di buang ke Boven-Digul dan kemudian istri serta harta bendanya dirampas oleh negara. negara Indonesia era Orde Baru memang mengalami suatu kemajuan dalam pembangunan. Tapi, itu semua dibangun di atas mayat jutaan orang yang dieksekusi tanpa peradilan dan tentu saja, utang dari luar negeri.

Soeharto, Sarwo Edhie, Ali Moertopo, dan para jenderal Orde Baru diduga menjadi aktor utama. Mereka memperalat golongan masyarakat lain untuk melakukan pembunuhan tersebut. Lantas berapa korbannya? Setidaknya ada tiga puluh lima perkiraan, tapi dari itu semua, rata-rata merujuk pada angka 1, hingga 4 juta.

Selama 32 tahun masa pemerintahan tiran Soeharto, para korban ini dibungkam dan keluarga mereka hidup dalam keterasingan. Setelah Tuhan menunjukkan keadilan-Nya, yaitu menjungkalkan Soeharto yang korup dan maniak itu dari tampuk pemerintahan, para presiden penggantinya juga tidak dengan tegas mengungkap keadilan seputar 1965.

Di era Megawati berkuasa, tragedi 1965 sempat masuk kurikulum sejarah dan mencantumkan angka 80.000 orang sebagai korbannya. Tetapi kemudian pada 2006, buku-buku ini ditarik oleh pemerintah selanjutnya dan bahkan pelajaran sejarah untuk SD dihapus. Memang Indonesia adalah sebuah bangsa yang sangat pemaaf, hingga Soeharto turun ke dunia orang mati, dia tetap tidak tersentuh hukum. Inilah saatnya dunia turun tangan, untuk membela korban 1965 yang dinista dan diacuhkan oleh masyarakat  dan pemerintahnya sendiri.

Mahkamah Internasional harus menyeret para pejabat, pimpinan daerah, dan preman-preman piaraan Orde Baru yang melakukan operasi pembersihan dari tahun 1965-1990. Dengan hanya mengandalkan pemerintah, keadilan tidak akan mungkin terwujud. Tapi dengan keyakinan bahwa Tuhan tidak pernah tidur, suatu saat keadilan akan terbit seperti matahari yang akan membakar segala lembaran-lembaran kebohongan dan memberikan para pelaku kejahatan tersebut apa yang pantas mereka dapatkan.

Bersuaralah Untuk Mereka

Anak-anak Afrika korban perbudakan, wanita-wanita tegar mantan Jugun Ianfu serta mereka yang menjadi korban operasi militer Soeharto, menunggu keberanian kita semua untuk menyerukan keadilan. Mari beri suara untuk mereka. Tunjukkan bahwa mereka tidak sendirian.

Selamat Hari Internasional Untuk Melawan Penyiksaan yang Kejam. Sebelum keadilan bagi mereka yang dibungkam disuarakan, sebenarnya umat manusia belum pantas disebut sebagai manusia seutuhnya.

sumber :

http://www.kontras.org
www.catatanadi.com
http://www.elsam.or.id
www.esaiedukasi.com
www.wikipedia.com

Post a Comment for "26 JUNI, HARI UNTUK MEMBELA MEREKA YANG TERTINDAS"