720 Tahun Surabaya, Makin Mantap Sebagai Kota Metropolis
Pada 31 Mei 2013, warga kota
Surabaya merayakan hari jadi kota tercintanya. Tidak terasa Surabaya sudah
menginjak umur ke-720. Di usia tersebut, kota Surabaya tentu masih menghadapi
sederetan masalah yang menjadi pekerjaan rumah bersama, baik pemerintah kota
Surabaya maupun warganya. Seperti apakah Surabaya, yang pada zaman kejayaan
Majapahit dulu sering disebut sebagai Ujung Galuh itu?
![]() |
Kota Surabaya |
Kota pahlawan sejak dulu kala
Ternyata nama Surabaya cukup tenar
di dunia internasional. Selain sebagai salah satu pusat industri di Indonesia
dan kota metropolitan terbesar kedua, Surabaya juga memiliki latar belakang
sejarah yang panjang dan membanggakan. Salah satunya mengenai peristiwa
pertempuran sepuluh November.
Pertempuran yang sangat tidak imbang
antara gabungan tentara KNIL (tentara Kerajaan Belanda), Inggris, dan Gurkha
(dengan tank, pesawat tempur dan senapan otomotisnya) melawan laskar arek-arek Suroboyo yang bahkan sepatu
saja tidak punya, membuka mata dunia tentang Surabaya. Peristiwa 10 November
dilatarbelakangi karena keengganan warga
Surabaya menuruti perintah Panglima Inggris
untuk melucuti diri dan menyerah kepada Inggris. Justru para tentara kolonialis
itu disambut dengan gelora kemarahan dan bara kebencian dari warga Surabaya
yang sudah muak dijajah terus-menerus.
Sebagai akibatnya, tentara Inggris,
Belanda dan Gurkha langsung bertindak. Mereka mengepung dan membombardir segenap
penjuru kota. Tidak tinggal diam, laskar rakyat Surabaya pun menyalakan api
perlawanan. Pertempuran berlangsung sengit. Dengan semboyan merdeka atau mati, rakyat Surabaya
berjuang dengan apa yang mereka punya. Pasukan kolonialis yang awalnya mendapat
angin, ternyata mulai terdesak. Dengan semangat juang tinggi, rakyat Surabaya
memenangi pertempuran di berbagai front.
Ada tersebar isu, karena begitu besar kebencian warga Surabaya terhadap Belanda
dan Inggris, maka semua tawanan perang
langsung dieksekusi mati di tempat. Bahkan Jenderal Mallaby, salah
seorang petinggi militer Inggris di Surabaya juga tewas.
Jika tidak diperintahkan berhenti
oleh Bung Karno, mungkin seluruh tentara asing itu sudah tewas tanpa sisa.
Keperkasaan warga Surabaya memang bukan tanpa alasan. Banyak yang percaya,
orang Surabaya dan sekitarnya adalah keturunan langsung dari Raden Wijaya,
pendiri kerajaan Majapahit. Banyak juga yang percaya, nenek moyang orang
Surabaya juga turut bertempur mengusir tentara Cina-Mongol utusan Kubilai Khan,
yang ingin menjajah tanah Jawa.
Sederhana, lugu dan berjiwa pekerja
Jika melihat kebudayaan Jawa secara
lebih mendalam, khususnya dari sudut pandang bahasa dan kesusasteraan, maka
bisa ditemukan adanya variasi-variasi. Secara umum, bahasa Jawa yang digunakan
adalah bahasa Jawa dialek Mataraman. Bahasa ini dipergunakan
luas oleh penduduk yang tinggal di daerah Solo Raya, Yogyakarta, Kedu, sebagian
besar Jawa Tengah bagian selatan, dan daerah-daerah tapal kuda Bengawan Solo,
seperti Ngawi, Madiun, Pacitan, Kediri dan lainnya. Selain dialek Mataraman,
ada juga dialek Tegal, Samin, Banyumasan dan Suroboyoan.
Dialek Suroboyoan sendiri
dipergunakan oleh warga yang tinggal di daerah Jawa Timur bagian utara-timur,
seperti Sidoarjo, Mojokerto, Malang, Gresik, Jombang dan tentu saja Surabaya.
Bagi para penutur bahasa Jawa dialek Mataraman, dialek Suroboyoan terdengar
kasar. Padahal hal ini hanya dipengaruhi oleh perbedaan kosakata dan intonasi.
Orang Surabaya sendiri memang
terkenal lebih egaliter dan lugas. Hal ini karena dalam dialek Suroboyoan,
struktur tingkatan berbahasa tidak seketat seperti yang ada pada dialek
Mataram. Jika dalam dialek Mataraman (dan Jawa pada umumnya), dikenal dengan unggah-ungguh atau tingkatan berbahasa,
yakni ngoko dan krama. Ngoko digunakan untuk berbicara dengan orang yang seumuran,
sedangkan bahasa kromo digunakan
untuk berbicara dengan orang yang lebih tua atau dengan kedudukan yang lebih
tinggi.
Selain dikenal egaliter dan lugas,
orang Surabaya juga dikenal sebagai pekerja keras. Ini karena Surabaya memang
memiliki banyak sekali industri dan sebagian besar penduduknya bekerja di
bidang industri. Hal inilah yang kemudian membuat orang Surabaya terbiasa
bekerja dengan giat dan rajin.
Berbagai permasalahan
Keberadaan Surabaya sebagai kota
industri sejatinya menimbulkan dilema tersendiri. Di satu sisi, hal ini mampu
menyediakan banyak lapangan pekerjaan bagi warganya. Bahkan bukan rahasia umum
jika Surabaya mampu menjadi magnet yang menarik orang-orang luar untuk mencari
peruntungan di kota pahlawan tersebut.
Tetapi di sisi lain, keberadaan
Surabaya sebagai kota industri yang berkembang pesat juga menciptakan berbagai
permasalahan. Salah satu yang utama adalah kemacetan. Walau belum separah
Jakarta, tetapi kemacetan yang terjadi di ibu kota provinsi Jawa Timur ini juga
semakin mengkhawatirkan.
Pada jam kerja kantor, di sepanjang
jalan besar, seperti Jalan Embong Malang, Panglima Sudirman, Basuki Rahmat dan
di kawasan industri Rungkut atau Kepuh, polisi selalu kewalahan mengatur lalu
lintas. Padatnya arus kendaraan menjadi faktor utama. Ternyata bertambahnya
jumlah kendaraan bermotor tidak diimbangi dengan penambahan jalan umum.
Selain itu, masalah banjir juga
tidak boleh dianggap remeh. Di beberapa kawasan, seperti Rungkut, Tulus
Harapan, Gubeng dan berbagai wilayah lain, hampir setiap musim hujan menjadi
langganan banjir. Hal ini disebabkan pencemaran dan menumpuknya sampah di
sungai-sungai, yang kemudian menyebabkan air meluap hingga ke permukiman
penduduk.
Surabaya juga harus menghadapi berbagai permasalahan yang
berkaitan dengan lingkungan hidup. Tingkat polusi yang semakin tinggi membuat
suhu di Surabaya semakin panas, terutama pada waktu siang hari. Pemerintah kota
sendiri sudah berusaha melakukan penghijauan besar-besar, terutama dengan cara
membangun ruang terbuka hijau dan melakukan penanaman pohon di pinggir jalan di
kawasan sibuk lalu lintas. Tetapi nyatanya suhu udara di kota pahlawan ini
tetap saja panas..
Tingkat kejahatan yang semakin
tinggi juga menjadi pekerjaan rumah tersendiri. Beberapa kejahatan dirasa makin
meningkat terutama masalah penjambretan, penodongan, hingga perampokan. Jika
Surabaya ingin menunjukkan kepada dunia sebagai kota yang aman untuk
berinvestasi, maka angka kejahatan harus ditekan.
Bonek
Selain rujak cingur (makanan khas
Surabaya), tugu pahlawan dan Bung Tomo, ada satu lagi ikon Surabaya yang bisa
dibilang sudah sangat melekat sejak lama, Persebaya. Persebaya merupakan klub
sepakbola asal Surabaya yang sudah malang melintang dalam dunia persepakbolaan
nasional. Dengan latar belakang sejarah yang panjang dan sederet prestasi,
Persebaya menjelma menjadi salah satu klub sepakbola raksasa di Indonesia.
Sayangnya, kehadiran Persebaya tidak
pernah luput dari Bonek (bondo nekat atau modal nekat). Bonek
adalah sebutan bagi kelompok pendukung Persebaya. Bonek sudah sejak lama
dikenal sangat fanatik dan memiliki jumlah massa yang sangat besar, bahkan
mungkin yang terbesar di Jawa Timur, setelah Aremania (pendukung klub sepakbola Arema
Malang).
Ironisnya, bonek juga selalu
diidentikkan dengan kekerasan, anarkisme dan hoologanisme yang berlebihan. Sering bonek terlibat kerusuhan
terhadap banyak kelompok suporter sepak bola lain, terutama aremania, jackmania
(pendukung Persija Jakarta) atau Pasoepati (pendukung Persis Solo). Selain itu,
bonek juga sering mempertontonkan berbagai aksi yang tidak simpatik, seperti
membakar stadion (entah ketika Persebaya menang, apalagi kalah), naik kereta
api tanpa membeli tiket, dan merampas dagangan pedagang kaki lima.
Sudah sejak lama, para Walikota
Surabaya (hingga Gubernur Jawa Timur) turun tangan untuk meredam dan mengubah
perangai kasar dan liar dari Bonek. Walau makin hari perilaku Bonek semakin
dapat dikendalikan dan santun, tetapi sesekali, kelompok yang terkenal dengan
warna hijau ini juga masih terlibat berbagai tindakan tercela.
Mencontoh Jakarta
Menilik dari berbagai permasalahan
di atas, sudah selayaknya pemerintah kota dan seluruh warga Surabaya
bahu-membahu untuk menyelesaikannya bersama-sama. Terkhusus untuk permasalahan
kemacetan lalu-lintas, ada baiknya jika pemerintah kota Surabaya mulai
mencontoh apa yang kini dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta, dengan membangun
sistem transportasi MRT (Mass Rapid
Transportation).
Tidak ada salahnya Surabaya
membangun sistem MRT yang mana diharapkan dapat mengurangi angka kemacetan
secara signifikan. Jangan sampai permasalahan kemacetan ini baru dipikirkan
ketika kondisi sudah sangat parah alias terlambat. Begitu pula dengan
peremajaan angkutan umum yang selain dapat mengurangi polusi, juga dapat
mempercantik kota.
Untuk permasalahan polusi, yang
sebagian besar juga diakibatkan oleh asap kendaraan bermotor (dan industri)
pemerintah kota harus berani mengambil langkah tegas, termasuk melakukan uji
kelayakan kepada semua kendaraan bermotor di Surabaya, sehingga mampu
meminimalisir polusi karena kondisi mesin yang sudah uzur.
Untuk permasalahan bonek, harus
dilihat secara arif dan mendalam. Walau mayoritas media di tanah air sudah
terlanjur memberi cap miring kepada pendukung setia Persebaya ini, tetapi bonek
juga adalah aset dari Kota Surabaya. Pemerintah dapat turut membantu melakukan
pembinaan secara serius, termasuk menangkap oknum-oknum yang berpotensi
memprovokasi para bonek melakukan tindakan anarkis. Bukan tidak mungkin
nantinya bonek justru mampu mengangkat nama Surabaya dengan kreativitas dan
dedikasi luar biasa yang mereka
tunjukkan.
Ayo rek!
Tumbuh kembangnya sebuah kota sangat
dipengaruhi oleh apa yang warga kota tersebut lakukan untuk kotanya. Arek-arek Suroboyo harus mampu
menanamkan semangat sense of belonging terhadap kotanya. Dengan industri yang luar
biasa besar, sumber daya manusia yang luar biasa dan latar belakang sejarah nan
panjang, Surabaya berpotensi untuk tumbuh lebih pesat lagi menjadi sebuah metropolis
yang kuat secara ekonomi, mandiri secara pemerintahan dan ber-etos kerja
tinggi. Selamat ulang tahun, Kota Surabaya.
Ayo rek, semangat!
Post a Comment for "720 Tahun Surabaya, Makin Mantap Sebagai Kota Metropolis"
Tidak menerima komentar berbau SARA, kampanye, iklan judi, pornografi, atau spam.